Seri Dewi Ular-63-Tara Zagita Dendam Dukun Jalang Karya : Tara Zagita Sumber DJVU : Novo Editor : Jisokam DENDAM DUKUN JALANG oleh Tara Zagita Serial : Dewi Ular Gambar sampul oleh Fan Sardy Penerbit Sinar Matahari, Jakarta Hak,cipta dilindungi oleh undang-undang Ali rights reserved ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== 1 SELASA Kliwon merupakan hari yang memiliki nuansa keramat seperti Jumat Kliwon. Dalam perhitungan kuno leluhur kita, malam Selasa Kliwon disebut juga malam Anggoro Kasih. Konon, jika ada orang yang mati di malam Selasa Kliwon, maka jenazah yang baru dikuburkan itu harus ditunggui oleh sanak keluarga, selama 40 hari 40 malam. "Mengapa harus dijaga, Kek?" "Karena kain kafan atau tali pembungkus jenazah yang mati pada malam Anggoro Kasih itu dapat dijadikan jimat untuk mencari kekayaan secara gaib. Malahan, lidah mayat atau bagian lainnya juga bisa dijadikan jimat untuk keperluan yang sama. Maka, banyak orang nekat yang bosan hidup melarat akan mengincar jenazah yang dikuburkan malam Selasa Kliwon. Mereka akan mencurinya dengan cara menggali kuburan itu dan merusak kesakralan kondisi jenazah tersebut." "Masa' sih, Kek?" gumamnya pelan, antara percaya dan tidak. Namun bulu kuduk Ohans tetap saja bergidik merinding. Kakeknya mengangguk pendek, penuh keseriusan. "Apakah zaman sekarang tahayul seperti itu masih dipercaya oleh masyarakat yang sudah serba modern ini, Kek?" "Sekelompok masyarakat masih mempercayainya. Terutama bagi yang tinggal di pedesaan atau perkampungan pinggiran kota. Tapi bagi masyarakat kota sendiri, kepercayaan seperti itu nyaris tidak tercatat lagi dalam hidup mereka yang serba sibuk ini. Namun, biar bagaimanapun jenazah putrinya pak dokter itu nanti malam tetap akan dijaga oleh orang upahannya. Entah untuk berapa lama dan berapa orang jumlah penjaganya, yang jelas pak dokter kita itu tidak ingin mayat putrinya dirusak oleh pencuri pemburu jimat yang berani nekat itu." "Hestina?" gumam Ohans saat tertegun membayangkan wajah gadis anak seorang dokter yang meninggal kemarin sore. "Soalnya, sebulan yang lalu katanya di daerah Kampung Duku ada makam yang digali orang, dan kain kafan mayat dicuri oleh orang tersebut. Makanya pak dokter pun jaga-jaga supaya makam anaknya tidak dibegitukan oleh siapa pun," tutur sang kakek sambil merapikan tanaman hiasnya. Ohans masih diam merenungi kata-kata itu. Kepercayaan terhadap mistik semacam itu ternyata memang masih ada. Tak peduli tua maupun muda, minat untuk mencoba kekuatan mistik tersebut bisa tumbuh dalam benak mereka ketika hidup mereka digencet habis-habisan oleh kemiskinan. Dengan dalih ingin mendapatkan kekayaan secara mudah, seseorang memang berani nekat melakukan tindakan yang mengandung bahaya besar. Tentu saja yang berani merencanakan mencuri sesuatu dari dalam kubur adalah orang-orang yang memiliki keberanian cukup besar, seperti halnya Parwan, bekas teman sekerja Ohans yang sama-sama dl-PHK setahun yang lalu. Pemuda berkulit hitam manis dengan ketampanan sedang dan perawakannya tak terlalu besar itu sudah berkali-kali mendengar cerita mistik tentang kain kafan mayat yang bisa dijadikan jimat. Bahkan lebih dari itu yang pernah didengar Darwan dari mulut orang-orang tua di sekitar pergaulannya. "Cerita mistik itu cuma dongeng kuno tanpa bukti apa-apa. Kamu jangan terpengaruh oleh dongeng-dongeng masa lalu, Wan," bujuk Ohans menyadarkan rencana Darwan. "Bukti itu sudah ada, Hans. Sudah kulihat sendiri!" "Di mana? Siapa...?! Bagaimana bukti itu, ceritakan!"- "Bang Andry." "Siapa itu Bang Andry?" "Tetangganya pamanku. Bang Andry semula hidup dalam kemiskinan, kayak aku begini. Nganggur bertahun-tahun, dihina oleh istrinya sampai sang istri akhirnya kabur bersama pria lain yang ekonominya cukup kuat. Akhirnya pula, Bang Andry mencuri benda dari mayat yang matinya malam Selasa Kliwon. Benda itu dijadikan jimat, dan sekarang Bang Andry hidup serba kecukupan, la tidak bekerja, tapi ia selalu punya uang banyak. Rumahnya ada dua, mobilnya tiga, wah... kaya deh!" "Benda apa yang dicurinya dari kuburan itu?" "Lidah mayat." "Apa...?! Lidahnya mayat?!" Ohans menyeringai merinding. "Jimat lidah mayat itu sangat ampuh, menurut pengakuan Bang Andry kepada kakak sepupuku." "Ap... apa keistimewaan dari jimat lidah mayat itu?" "Setiap orang yang dimintai uang oleh Bang Andry, pasti akan memberikannya sekalipun harus menguras isi dompetnya. Bahkan orang itu bisa stress dan menjadi gila kalau tidak bisa memenuhi permintaan Bang Andry. Bila perlu, ia akan membongkar semua uang tabungannya, meski sebenarnya ia belum pernah kenal dengan Bang Andry." "Hebat." "Bukan hanya uang yang bisa diminta dari korbannya, tapi Bang Andry juga bisa meminta benda berharga; teve, kulkas, perhiasan, mobil, dan bahkan kalau Bang Andry meminta istri orang itu, maka orang itu akan memberikannya secara rela dan dengan senang hati." "Apakah selamanya dia tidak akan menyesal?" "Katanya sih... setelah 100 hari, orang itu baru sadar dan menyesali pemberiannya. Namun orang itu tidak pernah berani meminta kembali apa yang sudah diberikan kepada Bang Andry. Yang bisa dilakukan orang itu adalah menghindari Bang Andry dan menyimpan kebencian sepanjang hidupnya." "Kasihan sekali orang itu. Tapi alangkah enaknya orang seperti Bang Andry Itu, ya?" "Makanya, aku akan mencari jimat tersebut dengan cara menggali kuburan mayat yang mati di malam Selasa Kliwon, lalu memotong lidah mayat itu dengan pisau yang terbuat dari sembilu; kulit bambu. Aku sudah konsultasi beberapa kali dengan Bang Andry, dan dia siap membantuku kalau lidah mayat itu sudah kudapatkan." "Kau memang gila, Wan!" kecam Ohans, dan kecaman itu hanya ditertawakan oleh Darwan. "Aku sudah bosan jadi orang miskin kok,Hans. Aku mau jadi orang kaya saja. Jadi orang miskin. batinku capek menahan penderitaan. Makanya, risiko apa pun akan kutempuh buat membahagiakan batinku ini " Memang benar-benar sudah gila si Darwan, menurut Ohans. Pemuda berambut ikal itu nekat melakukan tindakan berburu jimat seorang diri. Ohans tak sudi mendampinginya. Darwan tak keberatan atas penolakan temannya itu. Toh pukul dua belas lewat dia sudah ada di tempat pemakaman umum yang letaknya agak jauh dari rumahnya sendiri. Darwan datang sendirian di pemakaman umum itu karena mendapat informasi dari salah seorang kenalannya, bahwa di situ tadi sore telah dimakamkan sesosok mayat perempuan yang meninggal akibat diracun oleh suaminya sendiri. Peristiwa itu terjadi tepat pada hari Senin malam Selasa Kliwon. Setelah siangnya survey lokasi pemakaman itu, dan sorenya menyelidiki keadaan makam yang ternyata tidak ada tanda-tanda akan dijaga pihak famili almarhumah, maka Darwan pun datang di pemakaman tersebut melalui jalan belakang. Kehadirannya tak diketahui oleh siapa pun. Kebetulan malam itu udara cukup dingin. Angin berhembus kencang, menandakan akan turun hujan. Petugas ronda atau siapa pun orangnya akan malas keluar rumah lewat tengah malam dalam cuaca makin memburuk. Juru kunci kuburan itu pun tentunya sudah tertidur nyenyak, sebab ia sudah lanjut usia. Deru angin semakin bergemuruh. Darwan tiba di kuburan baru yang bertuliskan nama jenazahnya: NY ELSYANA SHENDRA. Sorot lampu senter kecil memperjelas bacaan tahun kelahiran dan tahun kematiannya, sehingga dapat disimpulkan perempuan malang itu meninggal dalam usia 32 tahun. Darwan menghembuskan napas lega, karena berhasil berada di kuburan baru yang masih menyebarkan aroma wangi bunga jenazah itu. Tepat ketika nafas Darwan terhembus lepas, suara guntur di angkasa bergemumh tanpa kilatan cahaya petir. Guntur itu seperti berlari dari langit timur menuju ke langit barat. Seolah-olah melintas tepat di atas kepala Darwan. Sekalipun Darwan memiliki keberanian dan jiwanya bukan jiwa seorang pengecut, tapi tetap saja sekujur tubuhnya terasa merinding manakala mendengar suara burung di sisi lain. Burung itu tak lain adalah burung hantu. Sedangkan yang berkelebat terbang di belakang Darwan adalah seekor kelelawar, entah ke mana tujuannya rian apa maksudnya terbang di atas tanah kuburan itu. Yang jelas,ketegangan mulai dirasakan mendesak dada Darwan Tapi sisa keberaniannya membuat Darwan bergegas mengawali pekerjaannya. Menurut keterangan Bang Andry, yang sudah sangat baik kepadanya dan seperti kakak sendiri itu, Darwan harus menggali makam tersebut tanpa alat apa pun. Ia menggali dengan kedua tangannya yang mencakar-cakar kuburan baru tersebut, sambil sesekali menyalakan lampu senter kecil untuk melihat hal-hal penting dalam kegelapan malam. Tentu saja pekerjaan membongkar kuburan tanpa alat adalah pekerjaan yang melelahkan, sekaligus menegangkan. Darwan harus sabar dan tekun melakukannya, la pun harus tabah apabila mendengar Sesuatu bergerak di kegelapan malam sekitarnya, atau harus tetap tekun menggali walau di sekelilingnya ada sesuatu yang muncul secara gaib. Hembusan angin kencang tidak membuat Darwan menjadi kedinginan, la justru berkeringat banyak akibat mengeruk tanah dengan kedua tangan dan menahan detak-detak jantungnya yang makin lama semakin menghentak kuat. Selama 15 menit ia melakukan penggalian tanpa alat dengan susah payah. Namun, ketika gerimis pun mulai turun, pekerjaan itu terasa sedikit ringan, karena tanah yang digali menjadi lebih basah lagi. Lebih mudah terangkat oleh kedua tangannya. Lebih cepat bagian yang terbongkar. Blegeeerrr...! Langit sempat berkerilap terang ketika cahaya petir menampakkan keangkerannya Pada saat itu Darwan mendengar suara orang merintih namun tak jelas. Rintihan itu seperti orang menderita kesakitan, namun juga seperti orang kedinginan. Darwan sempat menghentikan aktivitasnya sejenak untuk melirik ke kanan-kiri, mencari tahu sumber suara perempuan merintih itu. Setelah ia tak menemukan siapa-siapa di sekitarnya, maka pekerjaannya pun dilanjutkan kembali. "Mudah-mudahan biikan rintihan mayat perempuan yang sedang kubongkar kuburannya ini," pintanya dalam hati sebagai tanda bahwa keberaniannya selama ini mulai dibayang-bayangi oleh kecemasan yang tak diinginkan. Suara rintihan itu akhirnya hilang sendiri setelah Daiwan berhasil memperoleh setengah penggalian, la masih harus mengeruk-ngeruk tanah dan dinaikkan ke permukaan liang kubur itu. Bau bangkai busuk mulai tercium, bercampur dengan wangi bunga kamboja dan tanah basah. Ketika itu, kilatan cahaya petir menerobos gerimis rintik-rintik Blegaarrr...! Cahayanya berkerilap di angkasa, menerangi alam sekejap, kemudian alam menjadi gelap lagi. Darwan makin dicekam ketegangan karena tadi merasakan getaran aneh di bawah kakinya ketika ada petir. "Seperti ada yang bergerak-gerak di bawah timbunan tanah ini? Kakiku tadi merasakan gerakannya. Hmmm, gerakan apa tadi itu? Apakah... apakah kaki mayat di bawahku mengalami penyusutan akibat udara dingin? Atau..." Suara hatinya diam sesaat. Kilatan cahaya petir menerangi malam sekejap dan gemuruh suara gunturnya memenuhi angkasa luas. Kedua kaki Darwan seperti ada yang mendorong pelan dari bawah. Sentakan-sentakan kecil itu terasa hanya di bagian telapak kakinya, tapi membuat keringat dingin semakin bercucuran menahan ketegangan jiwanya "Tuh, ada yang bergerak-gerak lagi di tanah bawah ini?! Apaan sih sebenarnya?! Coba kugali lebih dulu yang sebelah sini!" Tangannya mulai mengeruk-ngeruk tanah yang tadi dipijaknya. Liang yang digali sudah membuat sebagian tubuhnya terbenam sebatas pinggul. Dalam perhitungannya, tidak mungkin kaki mayat dapat dirasakan gerakannya dalam keadaan tertimbun tanah setebal itu Pasti ada getaran aneh dari kedalaman bumi ketika terjadi dentuman menggelegar di langit luas. Hanya saja, rasa penasaran tetap saja membuatnya menggali bagian yang dicurigai. Bukan hanya tanah makam itu saja yang terkuras hampir habis, tapi juga tenaga Darwan nyaris terkuras semuanya. Batas badannya yang sudah berada di liang galian mencapai sebatas dada. ia masih bisa memandang ke kanan-kirinya,. karena liang galian belum setinggi kepala. Bau busuk makin tajam membuatnya memiliki perkiraan bahwa sebentar lagi ia akan menemukan sosok mayat yang menghuni kuburan baru itu. Namun ketika itu deru angin terasa aneh. Gemuruhnya menjadi seperti menggema ke mana-mana. Hembusan angin seperti berputar-putar tak tentu arah. Rintik hujan gerimis pun seakan lari ke sana-sini Lalu, terdengar suara denturhan dahsyat dari langit. Cahaya petir berkerilap cepat menoreh permukaan langit hitam. Jlegaar...! Blaaanhnggg...!! "Oh, aneh sekali gemanya?!" sentak hati Darwan. ia sangat heran mendengar suara guntur menggema tak berkesudahan. Lebih heran lagi setelah disadarinya, bahwa kilatan cahaya petir tadi ternyata tetap menyala terang di angkasa. Petir bagaikan berhenti dari gerakan kilatnya. Bentuk cahaya petir itu seperti anak cabang sebatang pohon. Bersilang dan berkelok-kelok panjang ke arah selatan dan barat. "Woww...?!" terperangah Darwan sambil mendongak ke langit, la melihat bentangan hitam langit malam bagaikan tergores luka yang memancarkan cahaya terang. Pemandangan malam di bumi pun ikut menjadi tetap terang temeram. "Petir bisa berhenti?! Ooh, baru sekarang kulihat petir bisa berhenti bergerak di atas sana?! Dan, ya ampuun...?! Ternyata angin pun berhenti berhembus?! Oh, ooh... tak ada angin?!" Butiran gerimis tak lagi merintik seperti tadi. Buliran gerimis ternyata diam seketika, seperti embun membeku di udara. Darwan tercengang-cengang memandangi alam pemakaman yang serba aneh itu. Semua aktivitas alam menjadi diam, seperti mati. la buru-buru meraih tas bawaannya. Dari tas itu ia keluarkan korek api gas. Ketika dinyalakan, nyala api korek itu tegak lurus, tanpa meliuk ke sana-sini. Hal itu membuatnya semakin yakin bahwa angin tidak bergerak Udara menjadi padat. Ternyata gerakan tubuhnya pun menjadi lambat dan berat. Baru disadari setelah Darwan berusaha naik dari liang kubur yang sudah berhasil digalinya hampir tuntas itu. Ternyata cukup susah mengangkat kakinya untuk keluar dari liang tersebut. "Giia! Semuanya jadi mati?!" geram harinya penuh keheranan Matanya masih menatap ke sana-sini. karena tempat pemakaman umum yang semula gelap pekat, kini menjadi seperti dalam suasana pagi Seperti fajar ingin beralih terang. Maka, dengan gerak susah dan napas terasa agak berat, Darwan kembali meraih tas kecil bawaannya yang diletakkan dekat tanah penggalian, la mengambil arlojinya dari dalam tas itu, karena ingin tahu pukul berapa saat itu. "Oh, ternyata jarum jam tidak bergerak. Ikut mati juga?!" Alam terasa sunyi. Tanpa suara apa pun. Di tengah kesunyian itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh aneh dari sanasini. Suara gaduh itu seperti tanah yang mengalami keretakan. Darwan masih kebingungan dalam cekaman rasa tegangnya. Bruuuss...! la pun terkejut mendengar suara tanah yang menyembur ke atas. Getaran bumi mulai dirasakan dalam kesadarannya. Lalu, tampak jelas olehnya batu-batu nisan yang ,retak dan pecah, makam yartg berhamburan tanahnya, serta sosok-sosok aneh yang muncul dari setiap makam di tempat itu, "Celaka! Mayat-mayat di sini bangkit semua?!" , sentak hati Darwan- dengan gemetar. Bruuss...! Bruuull...! Zraaak...! Burrss...! "Hahh...??!" Mata pun menjadi sangat lebar. Luar biasa tegangnya jiwa Darwan kala itu, karena kini semakin jelas dalam pandangannya, bahwa para penghuni kuburan itu saling tersumbul keluar dalam keadaan rusak. Ada yang tinggal tulang-belulang, ada yang masih berdaging sedikit tapi berbelatung, ada yang raganya sudah hancur tapi belum kering, ada yang tinggal bagian dalam tubuhnya saja, dan ada pula yang sekujur raganya sedang dikerumuni belatungbelatung pembusuk. Bruuuss...! Mayat yang ada dalam kuburan baru itu pun bangkit dan keluar dari liang lahatnya. Mayat perempuan yang masih terbungkus kain kafan itu berjalan melayang di permukaan tanah. Kain kafannya terbuka separuh bagian, sehingga kepala dan dadanya dapat dilihat jelas-jelas oleh Darwan yang berdiri dalam jarak lima meter kurang dengan kedua kaki gemetar, la menggigil dan tak bisa berteriak atau bergerak, karena kini ia sadar sedang didekati oleh mayatmayat tersebut. (Oo-dwkz-234-oO) Memang hanya sebentar. Tak sampai 2 menit lamanya. Tapi keganjilan alam di malam itu sempat menggemparkan penghuni bumi. Mereka merasa hampir mati bersama akibat kekurangan udara. Beruntung sekali fenomena langka itu segera berakhir, sehingga tak satu pun penduduk bumi yang i»was akibat kekurangan zat asam dan sebagainya. "Siapa yang berhasil membuat alam menjadi hidup lagi?!" "Kurasa bukan siapa-siapa. Alam menjadi normal kembali secara dengan sendirinya. Alamiah juga." "Ya, menurut pendapatku sih... keganjilan tadi hanya secara kebetulan saja. Alam mati suri. Tapi bukan berarti mati selamanya kan? Jadi, bukan karena dihentikan seseorang dan dihidupkan kembali oleh seseorang juga. Bukan begitu." Kontroversi peristiwa aneh yang sangat misterius itu memang sempat mengheboh di mana-mana. Hanya beberapa orang yang tahu bahwa ke-matian alam itu berhasil dihidupkan kembali oleh kesaktian gadis cantik yang sebenarnya adalah anak dewa dari Kahyangan. Paranormal cantik yang mampu bertindak cepat sekaligus menyelamatkan kehidupan di bumi ini tak lain adalah si Dewi Ular, atau lebih akrab dikenal dengan nama; Kumala Dewi. Ketika cahaya petir tak padam-padam, butiran hujan diam di udara, angin berhenti bergerak, ombak lautan diam di tempat dan segalanya serba mati, Kumala Dewi segera melompat keluar dari kamar tidurnya. Ia dibangunkan oleh sopir pribadinya: Sandhi, yang pada malam itu sedang ngobrol di . pendapa belakang rumah bersama Buron serta Rayo Pasca. Buron, si jelmaan Jin Layon itu, terkejut lebih dulu ketika kepekaan gaibnya dirasakan tak berfungsi lagi. Untuk membuktikan ucapan Buron tentang alam telah mati, Rayo Pasca membuang bungkus rokoknya Sandhi. Ternyata bungkus rokok itu hanya melayang sesaat, lalu diam mengambang di udara tanpa gerakan apa pun. Saat itulah orang-orangnya Dewi Ular sepakat untuk membangunkan Dewi Ular yang malam itu ingin beristirahat dalam tidurnya. Sandhi yang berani mengetuk pintu kamar gadis anak bidadari itu, lalu menyampaikan kabar aneh tersebut dengan nada tegang. Kumala segera keluar dari rumah, ke halaman belakang, depan pendapa, la membenarkan kesimpulan ketiga lelaki muda tersebut, bahwa alam telah mati. "Ada yang membuatnya mati, baik dengan sengaja atau pun tidak!" katanya dengan sedikit tegang. Kemudian, gadis berambut panjang dan bertubuh sexy anggun itu segera menggunakan kesaktiannya. Melepaskan cahaya hijau dari ujung-ujung keempat jari tangannya. Cahaya itu melesat ke atas, kemudian pecah secara bersamaan dengan menimbulkan suara dentuman pelan. Bluummm...! Awan hijau menyebar, bergumpal-gumpal, membentuk seperti pusaran angin yang bergerak memutar. Makin lama semakin cepat, sehingga memancing angin untuk bergerak kembali. Petir pun menghabiskan sisa dentumannya. Cahaya peti pun padam. Semuanya menjadi normal kembali. "Ada yang usil nih," katanya seperti bicara pada diri sendiri. "Usil bagaimana maksudmu?" "Menggunakan kekuatan gaibnya untuk menghentikan alam." "Siapa menurutmu?" desak Rayo Pasca, pria tampan yang sedang dalam proses menjadi kekasih Kumala Dewi "Entahlah. Tapi... aku yakin, kematian alam tadi membawa dampak buruk sendiri bagi kehidupan manusia. Pasti akan terjadi suatu peristiwa aneh dan membahayakan jiwa manusia." "Peristiwa aneh apa, Lala?" desak Rayo dengan panggilan khasnya kepada Kumala. "Belum bisa kujelaskan sekarang. Yang pasti, peristiwa itu akan membuatku semakin sibuk dengan hari-hariku, Ray." "Kau tak perlu khawatir, aku pasti membantumu menyelesaikan kesibukan itu, Lala," bisik Rayo dengan nada berbau romantis. Kumala hanya bisa tersenyum tipis. Tak bisa menanggapi lebih dari itu, karena konsentrasinya segera tersita oleh bunyi dering telepon di ruang tengah. "Ya, hallo...?" "Dewi Ular, kaukah yang menghentikan kematian alam tadi?" "Ya, aku. Kenapa?" "Terima kasih atas kesigapanmu, Dewi Ular. Aku sempat khawatir sekali tadi. Sebab, jika alam mati. maka mayat-mayat di mana pun akan bangkit dan merebut kekuasaan di permukaan bumi ini. Mereka menempati raga-raga yang masih hidup dengan tujuan yang membahayakan. Dengan kesigapanmu tadi, mereka pasti akan kembali ke liang kuburnya. Mudah-mudahan belum sempat, ada yang merebut raga-raga manusia hidup, Dewi Ular." "Begitukah? Jadi, kau pasti tahu apa penyebab kematian alam tadi, Dewi Angora?" "Ya, tentu saja aku tahu. Penyebabnya pasti batu intan biru yang sedang kucari-cari. Kini batu itu pasti sudah digunakan oleh seseorang dan berada tak jauh di sekitar kita, Dewi Ular." "Aku akan bantu kamu untuk mencarikannya, seperti janjiku dulu, Angora!" "Mari kita bergerak sekarang juga, Kumala!" Dewi Angora adalah salah satu penghuni Kahyangan yang sedang berada di bumi. la adalah anak dari Dewa Wanandra dan Dewi Garbani. Batu pusaka yang ada di ujuna tongkat saktinya Dewa Wanandra jatuh ke bumi akibat ulah putrinya. Maka sang putri berkewajiban mencari batu itu dengan menjalani hukum nista terlebih dahulu, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "GADIS PENYELAMAT BUMI"). Hukum nista itu dijalaninya bersama seorang mahasiswa tampan berwajah imut-imut dan masih berusia 22 tahun. Pemuda itu adalah Alvan, yang kini hidup serumah tanpa nikah dengan Angora. Ke mana pun Alvan pergi selalu diikuti oleh seekor kucing putih yang tak lain adalah jelmaan dari Dewi Angora. Sebab, putri Dewa Wanandra itu sesungguhnya adalah dewi penguasa kucing dan hewan-hewan sejenisnya. Tapi malam itu agaknya Dewi Angora sengaja tidak membawa Alvan dalam kepergiannya. Pemuda itu ditinggalkan di tempat kostnya. Angora datang sendiri ke rumah Dewi Ular dalam wujud seekor kucing putih. Waktunya hanya 5 menit dari ia menelepon tadi. Tentu saja Kumala tidak merasa heran mendengar suara kucing mengeong di teras rumahnya. Dan, ketika ia membuka pintu ruang tamu, maka seekor kucing putih itu menjelma wujud menjadi wanita cantik berambut hitam kemilau panjang dengan jubah putih transparan menampakkan bayangan keelokan tubuhnya yang asli. "Dewi Ular, kau sudah melihat sendiri akibat penyalahgunaan batu intan biru tadi, bukan? Itu belum seberapa, Dewi Ular." "Aku tadi sedang tidur. Tahu-tahu Sandhi membangunkannya dan memberitahukan keganjilan alam tadi. Tapi... sebelumnya aku ingin mendapat kepastian darimu, Angora,... Apa benar kematian alam tadi disebabkan oleh. batu intan biru milik ayahandamu itu?" "Untuk apa aku mendustaimu, Dewi Ular?" kata Dewi Angora dengan sama-sama menatap, tapi ekspresinya menampakkan kecemasan yang cukup dalam. Suaranya pelan, penuh keseriusan. "Intan biru adalah satu-satunya permata yang dapat melumpuhkan kedahsyatan alam. Apabila ia terkena kilatan cahaya petir, maka petir itu akan terperangkap ke dalam kesaktian permata itu. Angin pun dapat terperangkap ke dalamnya. Semua yang terperangkap dapat berubah menjadi patung, alias mati tanpa gerak tanpa daya. Kehidupan alam pun akan mengalami mati gerak mati daya jika kesaktian intan biru membias ke mana-mana akibat sengatan petir." "Oh, kalau begitu Dewa Zeus sangat takut dengan ayahandamu, ya?" "Memang begitulah kenyataannya. Dewa Zeus yang memiliki senjata berupa prajurit-prajurit petir itu tidak .akan berkutik jika berhadapan dengan ayahandaku. Tapi selama ini mereka belum pernah, bentrok, justru saling hormatmenghormati." "Hmmm...," Kumala manggut-manggut menunjukkan rasa percayanya terhadap semua keterangan Dewi Angora. "Pusaka intan biru juga dapat dikatakan sebagai pusaka pembalik kenyataan. Apa yang nyata bagi kehidupan di alam jagat raya ini dapat diputar balikkan; termasuk membuat mereka yang mati menjadi hidup kembali dan punya nafsu menguasai kehidupan. Yang bergerak menjadi diam; manusia menjadi patung dan patung dapat hidup seperti halnya manusia. Tentu saja dengan satu cara sendiri dalam penggunaannya. Itulah sebabnya aku sangat khawatir, jika intan biru berada di tangan manusia yang tidak bertanggung jawab, maka sangat besar kemungkinannya akan disalahgunakan untuk satu kejahatan yang sangat membahayakan jiwa mahluk hidup apa pun...." "Misalnya...?" sahut Kumala. "Misalnya... dipakai, untuk mengubah seseorang menjadi patung, atau mengubah patung menjadi hidup dan memiliki jiwa tersendiri; bisa saja jiwa iblis, atau jiwa manusia baikbaik, tergantung tujuan si pemegang intan biru. Oleh karenanya, Kumala... jika kau memang bersungguh-sungguh Ingin membantuku menemukan batu permata itu, sebaiknya bergeraklah sekarang juga bersamaku." "Baik!" tegas Kumala. "Tapi apa langkah pertama yang harus kita lakukan, Dewi Angora?" Putri Dewa Wanandra itu tertegun diam memikirkan langkahnya. (Oo-dwkz-234-oO) 2 PANAS matahari pagi belum terlalu menyengat Embun pun belum sempat kering. 7'api suasana alam kehidupan manusia ini sudah mulai diguncangkan oleh berita yang cukup menggemparkan. Seolah-olah setiap orang ingin ikut ambil bagian sebagai saksi mata terhadap peristiwa aneh-tersebut. Di mana-mana orang datang secara berbondong-bondong dengan wajah-wajah tegang. Tujuan mereka adalah Tempat Pemakaman Umum terdekat. Mereka ingin melihat kenyataan mengerikan yang terjadi di setiap tempat pemakaman umum itu. Dan mereka akan terperangah diliputi rasa takut manakala melihat sendiri keadaan makam yang rusak. Setiap makam, baik yang sudah lama maupun yang masih baru, kondisinya rusak berat. Batu nisan bertebaran ke mana-mana. Tanah penimbun liang kubur berserakan. Liang kubur itu sendiri juga tampak berongga. Jenazah yang ada di dalamnya telah keluar dari kuburan tersebut Baik yang sudah tinggal tulang-belulang maupun yang sedang dalam proses membusuk, semuanya berada di luar liang kuburnya. Mayat berserakan di sana-sini, seakan ingin meninggalkan tempat peristirahatannya. Ada yang terkapar sejauh 20 meter dari kuburannya, ada pula yang lebih jauh lagi, tapi juga ada jenazah yang ditemukan terpuruk sejauh 5 meter dari makamnya sendiri. "Mereka seperti ingin melarikan diri dari liang kuburnya, tapi keburu tertahan oleh sesuatu, atau dilumpuhkan oleh sesuatu, sehingga mereka tak jadi pergi. Namun juga tak bisa masuk kembali ke makamnya. " Komentar salah seorang penduduk yang tinggalnya tak jauh dari tempat pemakaman agak berbeda dengan pernyataan seorang wartawan tadi. Komentar yang tinggal dekat kufturan rata-rata hampir sama. "Mula-mula saya mendengar suara petir membisu seketika, kemudian suara gemuruh aneh seperti datangnya banjir. Lama-lama suara itu semakin jelas sebagai suara orang mengerang beramai-ramai, ada jeritan kecil, ada pu|a seperti suara tangis. Tapi tiba-tiba suara itu hilang semua dalam sekejap, bersamaan dengan dentuman pelan yang menggema di angkasa. " "Mungkin saat itulah mayat-mayat itu lumpuh kembali, mati lagi. Tapi mereka tak sempat masuk liang kuburnya masingmasing," timpal yang lain. Hampir setiap orang yang datang sendiri ke pemakaman dan menyaksikan keadaan di sana mengalami kengerian, merinding dan berdebar-debar. Sebab, keadaan mayat-mayat yang bergelimpangan di sana-sini mengingatkan seseorang pada keadaan alam yang habis mengalami masa kiamat. Bau bangkai menyebar ke mana-mana, terutama berasal dari jenazah yang baru dua tiga hari dimakamkan dan tadi malam ikut keluar dari makamnya. Pemda setempat dan pihak yang berwajib akhirnya menguburkan kembali jenazah-jenazah tersebut, dibantu oleh masyarakat yang punya nyali terhadap kenyataan mengerikan itu. Rata-rata mereka merasa bersyukur karena setiap makam dapat terisi kembali oleh jenazah yang memang semula menempati makam itu. Artinya, belum ada mayat yang hilang akibat berhasil pergi jauh dari makamnya. Di seluruh Tempat Pemakaman Umum dilakukan pengecekan oleh pihak yang bersangkutan. Laporan- mereka sama: tidak ada mayat yang melarikan diri, tidak ada makam yang .tidak terisi kembali. Tapi di salah satu TPU, di wilayah selatan, agaknya telah terjadi suatu peristiwa yang lebih menegangkan dan lebih menghebohkan suasana setempat. Di tempat pemakaman itu justru ditemukan mayat baru yang diduga bukan penghuni kuburan tersebut Mayat itu adalah mayat seorang pemuda, diperkirakan meninggal pada malam harinya. Belum ada 24 jam. Mayat pemuda itu terkapar di samping sebuah makam baru Makam itu sendiri kosong. Mayatnya tak ada. Tapi juru kunci kuburan tersebut yakin sekali bahwa mayat pemuda itu bukan penghuni makam yang kosong. "Saya yakin, Pak..," ujarnya kepada pihak kepolisian. "Makam yang kosong itu makamnya almarhumah Nyonya Elsyana Shendra, bukan makam si mayat lelaki itu, Pak. Sebab, jenazah Nyonya Elsyana baru kemarin siang dimakamkan di sini, jadi saya masih ingat betul siapa penghuni makam baru ini!" "Lalu, mayat pemuda ini...?" Petugas kepolisian berpaling kepada para pengerumun yang tak berani terlalu dekat dengari mayat tersebut. "Saudara-saudara... coba tolong Anda kenali, siapa pemuda ini. Barangkali salah satu dari Saudara-saudara ada yang mengenali identitas mayat pemuda ini!" Setelah beberapa saat, barulah ada salah seorang dari pengerumun yang bicara agak keras kepada petugas kepolisian. "Pak, rasa-rasanya pemuda itu bukan penduduk sekitar sini, Pak." "Jadi, menurut Anda dia penduduk mana?" "Seingat saya, dia pemuda yang sering nongkrong di warung nasi di pangkalan mobil-mobil angkot, di sana...!" "Anda yakin?!" "Dia suka main catur dengan sopir-sopir angkot yang sedang, ngetem atau tunggu giliran, siang hari." Pihak kepolisian segera melakukan konfirmasi. Maka, diperoleh keterangan bahwa mayat pemuda itu adalah mayat seorang penganggur. Seorang sopir angkot, mengenali nama pemuda itu: Darwan. Orang terdekat yang mendengar kabar itu dan segera lari ke makam tersebut adalah Ohans. Tersentak pucat wajah Ohans begitu mengetahui bahwa mayat pemuda itu memang benar mayatnya Darwan. Ohans buru-buru buang muka dengan menyeringai menahan duka. Ia tak sanggup memandangi mayat Darwan, karena pada bagian dada mayat berlubang sebesar mangkok bakso. Dari lubang itu keluar darah yang berceceran ke mana-mana, dan beberapa urat atau organ tubuh lainnya. Sepertinya ada yang merogoh jantung Darwan dan memakannya. Sersan muda Burhan yang bertugas di bagian kriminil segera menghubungi Kumala Dewi. Kebetulan kasus ditemukannya mayat Darwan berada dalam penanganannya. Berhubung kondisi mayat mengandung unsur gaib, maka seperti yang sudah-sudah Sersan Burhan selalu meminta bantuan sahabatnya, yaitu si gadis paranormal cantik berdarah dewa itu. Waktu itu, Dewi Angora masih berada didekat Kumala, sehingga Kumala pun meluncur ke pemakaman itu bersama Dewi Angora dengan mengendarai BMW kuning yang dikemudikan oleh Sandhi. "Jangan meluncur ke pemakaman," kata Sersan Burhan dalam telepon keduanya. "Kami telah membawa mayat korban ke rumah sakit guna pemeriksaan lebih lanjut," Pihak keluarga Darwan sudah datang, bermaksud mengambil jenazah pemuda itu. Tapi pihak kepolisian menangguhkan pengambilan jenazan. Sersan Burhan menginginkan jenazah itu diperiksa lebih dulu oleh Kumala Dewi sebelum dilakukan tindakan lebih lanjut oleh pihak yang bersangkutan. Beruntung sekali Kumala, Sandhi dan Dewi Angora segera datang, sehingga Sersan Burhan bisa memperoleh kesimpulan analisa gaib dari sahabat cantiknya itu. "Jantungnya memang rusak, tapi tidak hilang. Organ tubuh lainnya juga begitu. Hanya rusak, tapi tidak hilang," kata Sersan Burhan sebelum Kumala melakukan pemeriksaan. Tapi pada saat itu bukan hanya Kumala Dewi yang memandangi jenazah dari jarak dekat, melainkan Dewi Angora dan Sandhi juga berada dalam jarak pandang yang sama dengan Kumala. "Apa yang dicuri dari mayat ini?" pikir Sandhi sambil menyeringai menahan kengerian batinnya. Suara hati Sandhi itu didengar oleh Dewi Angora yang kala itu mengenakan pakaiannya Kumala agar tampil seperti manusia biasa, maka ia berkata dengari suara pelan. "Qolbunya yang dicuri." Kumala Dewi berpaling menatap Dewi Angora, hanya sebentar, seakan membenarkan pernyataan itu. Kumala kembali memandangi jenazah dengan tenang. Tapi Sandhi masih menatap Angora dan berbisik. "Qolbu itu apa?" "Pusat kekuatan batin." "Bukan manusia yang melakukan," susul suara Kumala kepada Sersan Burhan. "Roh gaib ingin hidup sebagai manusia. Ia telah mencuri salah satu pusat kekuatan batin pemuda ini. Sekarang ia pasti sudah hidup sebagai manusia biasa, seperti kita." "Maaf, tadi aku lupa menjelaskan padamu, bahwa di sebelah tempat mayat pemuda ini ditemukan, ada kuburan yang kosong. Mayat penghuni kuburan itu telah keluar dari liang kuburnya dan... sampai sekarang belum ditemukan oleh..." "Dialah pencurinya!" sahut Kumala tegas-tegas, la berpaling kepada Dewi Angora. "Tepat seperti apa yang kau ceritakan di mobil tadi, Angola. Ada pihak yang berhasil mencuri kesempatan ajaib pada saat terjadinya keganjilan alam tadi umlam. Pemuda inilah korbannya. Mungkin pada waktu itu ia berada dalam jarak sangat dekat de-minn mayat yang hilang dari makamnya itu." "Mayat itu adalah mayat seorang wanita," sahut Sersan Burhan melengkapi informasinya yang diharapkan bisa menjadi bekal penggambaran di benak Kumala. " Apakah pihak keluarga jenazah wanita itu sudah mengetahui keadaan makam itu?" "Sudah. Sekarang mereka sedang kebingungan mencarinya, sebab sejak semalam mereda tidak didatangi deh mayat wanita itu. O, ya... mayat wanita itu bernama: Elsyana Shendra, berusia sekitar 32 tahun, la meninggal dua malam yang lalu dan...." "Apa penyebabnya?" potong Kumala sambil mereka tetap melangkah keluar dari kamar mayat. "Informasi yang kudapat dari sanak keluarganya, penyebab kematian adalah racun. Dia diracun oleh suaminya sendiri. Tapi sampai sekarang suaminya masin buron. Pihakku sedang mencari ke mana larinya si suami itu." "Pasti ia meninggal tepat pada malam Anggoro Kasih," kata Dewi Angora kepada Sandhi, tapi ditanggapi oleh Sersan Burhan. "Dari mana hal itu bisa dipastikan?" Kurnala Dewi yang menjawab, "Sebab, hanya roh orang yang meninggal pada malam Anggoro Kasih saja yang bisa mencuri Qolbu milik orang lain." "Apakah semua roh yang meninggalnya pada malam Anggoro Kasih bisa hidup kembali akibat keganjilan alam tadi malam?" "Tergantung kecepatannya dalam memanfaatkan waktu. Ia bisa mencuri Qolbu seseorang hanya pada saat alam mengalami kematian. Tapi jika alam sudah tidak terperangkap lagi, ia tidak bisa melakukannya. Jadi, ketika tadi malam terjadi keganjilan, si korban pasti sedang berada di dekat makamnya Elsyana. Entah ngapain di sana!" "Benar," timpal Dewi Angora. "Sebab, kematian alam hanya beberapa saat Sangat sebentar. Kumala Dewi segera membebaskan alam dari perangkapnya. Kalau saja Kumala tidak segera bertindak, maka akan banyak lagi korban seperti pemuda itu. Mayat-mayat yang meninggal pada malam Anggoro Kasih pasti akan mencari seseorang dan mencuri Qolbunya buat bekal hidup kembali." "Apakah setiap orang punya Qolbu?" "Punya dong," jawab Kumala. "Di dalam diri setiap manusia mempunyai pusat kekuatan batin, yang menurut bahasa Arab disebut Latifah. Manusia mempunyai lima titik tempat kekuatan batin." "Lima titik Latifah, maksudmu?" tanya Sersan Burhan. "Ya. Latifah letaknya di dada kiri. Latifah Ruh letaknya di dada kanan. Latifah Sir letaknya di tengah dada. Latifah Khafi letaknya di antara kedua alis kita, dap Latifah Akhta di ubunubun" Angora menyahut, "Dan salah satu dari titik kekuatan batin itu dicuri pada malam keramat seperti tadi malam, maka akan sangat berguna bagi roh yang mencurinya." "Berbahayakah bagi keamanan masyarakat?" "Berbahaya!" tegas Kumala dalam jawabannya. "Dia dapat menjadi penyebar maut di masyarakat Karena itu, harus segera ditemukan dan disempurnakan kembali kematiannya." "Kau dapat melacaknya menggunakan kekuatan supranaturalmu?" "Akan kucoba." "Arah langkahnya pasti menuju tempat di mana Intan biru itu berada," kata Dewi Angora. "Kau yakin begitu?" Kumala Dewi agak menyangsikan katakata Dewi Angora, sebab ia memang masih awam dengan masalah intan biru. "Roh manusia yang hidup kembali dari kematiannya dengan bekal kekuatan Qolbu curian, maka mang geraknya akan terhisap oleh kesaktian intan biru, sebab roh itu menuntut penyempurnaan juga. Kalau orang itu sampai menemukan di mana intan biru itu berada dan ia bermandi cahaya dari intan biru, maka orang itu atau roh yang hidup kembali itu tidak dapat disempurnakan dalam kematiannya. la justru akan menjadi abadi, tak akan bisa mati selamanya." "Intan biru itu apa, Kumala?" tanya Sersan Burhan. Kumala Dewi menjelaskan secara singkat, sehingga Sersan Burhan yang dari tadi tampaknya sering mencuri pandang kepada Angora itu menjadi terperangah setelah tahu bahwa Dewi Angora adalah anak dewa juga. Tapi rasa kagumnya kepada Dewi Angora segera disingkirkan dulu dari hatinya, sebab yang terpenting baginya adalah tugas mengamankan masyarakat dari ancaman bahaya atas kebangkitan Nyonya Elsyana Itu. Sersan Burhan ikut berpikir, di mana Nyonya Elsyana saat ini. Apa yang harus ia lakukan jika Kumala gagal mencegah terjadinya bencana yang timbul dari kebangkitan Elsyana Itu? (Oo-dwkz-234-oO) Pesawat jenis Boing 747 yang seharusnya take-off pukul dua siang terpaksa dicancel beberapa saat karena suatu hal. Pihak operator yang mengumumkan penundaan jam terbang itu memang menggunakan alasan klise; kerusakan teknis. Tapi para penumpang yang sempat dongkol itu tidak semuanya percaya, sebab pesawat itu terjaga servicenya dan pihak perusahaan dikenal selalu mengutamakan ketepatan waktu. Hampir semua calon penumpang mengetahui hal itu. Maka sebagian calon penumpang menjadi curiga terhadap alasan yang disampaikan dalam pengumuman tadi. Salah satu calon penumpang yang kurang percaya dengan alasan tersebut adalah seorang lelaki gagah berusia sekitar 36 tahun. Ia tampak gelisah dan sebentar-sebentar pergi ke toilet untuk buang air kecil. Kacamata hitamnya tetap dipakai, hampir berhimpitan dengan topi merah yang terbenam di kepalanya. Pria berkumis tipis dan berbadan atletis itu tampaknya sangat ingin lekas-lekas meninggalkan bandara ke tempat tujuannya. Dan, ia lebih suka menunggu di tempat sepi dari pada harus menjadi pusat perhatian para wanita yang tertarik dengan penampilan macho-nya itu. Ketika ia menaiki tangga dari toilet, tiba-tiba seorang lelaki sebayanya berpapasan dan langsung menghadang langkahnya. Pria macho yang berpakaian ketat itu terkejut. Darahnya berdesir cepat I ipi ketika ia mengangkat wajah dan menatap lelaki yang sengaja menghadangnya senyum dan tawanya segera mengembang. "Masih ingat aku, Franky...?!" "Setan kau, Jim Kukira siapa yang berani menghadang langkahku!" lalu ia menyambut uluran jabatan tangan teman lamanya: Jimmy. Mereka sudah hampir Sepuluh tahun tidak bertemu. Tapi agaknya Jimmy tidak pernah lupa dengan penampilan Franky yang selalu galant dan jantan itu. Franky terpaksa ikut balik masuk ke toilet untuk menyambung percakapannya itu. Sekalipun Jimmy hanya melongok-longok tiap pintu WC dan memandangi sekeliling toilet, tapi ia tetap menanggapi kata-kata Franky dengan penuh keakraban. "Hey, tunggu dulu...!" sergah Franky sambii menahan langkah Jimmy. "Apa yang kau cari di sini, Jim? Kelihatannya ada sesuatu yang ingin kau temukan di sini?" "Sebenarnya aku masih dalam tugas, Frank. Sorry nih...!" "Tugas? Kau... kau bekerja di bagian pembersih toilet, gitu?" "Bukan, Frank. Aku memang bekerja di sini, tapi di bagian staf security lapangan." "Ooo...?!" Franky manggut-manggut. "Rekan-rekanku sedang memeriksa pesawat yang akan membawamu ke Singapore nanti, Frank." "Memeriksa apanya?" "Begini.... Pihak kami telah menangkap seorang turis yang kedapatan menyembunyikan heroin di hak sepatunya. Tapi menurut informasi yang kami dapatkan sebelumnya, orang itu membawa heroin tidak sedikit Yang kami temiikan hanya sepersepuluhnya. Lalu, ke mana heroin lainnya? Kami curiga ia sembunyikan dalam pesawat, setelah mengetahui keamanan siap siaga menangkapnya. Maka, kami perlu memeriksa pesawat yang tadi habis membawanya dari Singapore." "Karena itulah penerbanganku di-cancel?" "Sorry," sambil Jimmy menyentakkan pundaknya."O, ya... kudengar kabar kau sudah menikah lagi dengan seorang mantan model, ya?" Jimmy mengalihkan pembicaraan dan tetap bersikap tenang, supaya tidak memancing keresahan sahabat lamanya. "Yaah... begitulah kabar yang sebenarnya," jawab Franky bernada keluh. "Tapi rumah tanggaku yang kedua ini mengalami kekacauan juga, sama seperti perkawinanku yang pertama, Jim." "Problem apa? Ekonomi? Kesehatan? Kejiwaan?" Sebelum Franky menjawab, Jimmy sudah buru-buru berkata lagi. "O, ya... kusarankan padamu, Frank.. kalau kamu nggak bisa mengatasi problem rumah tanggamu, cobalah datang kepada paranormal muda yang kata temanku berilmu tinggi. Pasti dia bisa menyelesaikan masalah rumah tanggamu. Orang itu memang masih muda. Cewek!" "Cewek...?!" "Cantiknya bukan main. Kayak bidadari. Na ... inanya... Kumala Dewi. Temanku kenal dekat dengan gadis paranormal itu. Kasus dalam rumah tangganya juga pernah diselamatkan oleh Kumala Dewi. Banyak orang yang datang padanya, dan rata-rata berhasil. Cobalah datang ke sana! Hmmm, kalau nggak salah aku pernah diberi nomor teleponnya oleh si Alben, temanku yang berprofesi sebagai wartawan itu...." Jimmy mencatat nomor telepon kantornya Kumala Dewi di balik kartu namanya. Franky menerima dengan malasmalasan. Karena masih dalam tugas, Jimmy terpaksa harus meninggalkan Franky Tak bisa menemani sampai pesawat dinyatakan 'bersih' oleh pihak keamanan. Kepergian sahabat lama itu membuat Franky termenung beberapa saat. la masih tetap di ruang toilet, berdiri dengan punggung bersandar, tangannya memegangi kartu nama yang sedang, diperhatikan baik-baik. Agaknya ia mempunyai pertimbangan yang meragukan hati, sehingga membutuhkah waktu untuk merenung agak lama. Seorang wanita berambut pirang selewat pundak masuk ke toilet wanita. Saat menuruni tangga sebelum masuk ke toilet matanya sempat beradu pandang dengan Franky. Wanita bule yang bertubuh sexy dan berpantat sekal itu menyunggingkan senyum sekilas sebagai basa-basi keramahannya saja. Franky membalas sekilas juga. Tapi setelah itu ia tak bisa beralih pandang. Bule bercelana jeans ketat itu dipandangnya sampai masuk toilet, dan ditunggu kemunculannya. "Gila?! Sexy dan cantik sekali bule Itu? Jantungku langsung deg-degan saat beradu pandang dengannya tadi. Wow...! Gairahku mulai terbakar. Gawat nih! Bisa-bisa kugaet dia saat ini juga. Wah, tapi dia sama siapa, ya? Sama cowoknya, apa sama keluarga, atau bersama temannya? Hmm... tertarik sekali aku padanya Dia memiliki daya tarik lebih besar daripada si Yeyen. " Debar-debar dalam dada Franky semakin nyata. Hasrat ingin berkenalan dengan bule itu sempat membuatnya gelisah. Rasa-rasanya ia perlu melepas kacamata hitamnya sebentar untuk memamerkan pandangan matanya. Sebab, kata beberapa wanita yang pernah kasmaran padanya, tatapan mata itu mengandung kenakalan yang dapat membangkitkan keinginan bercumbu bagi lawan jenisnya. Meskipun Frank sendiri masih sangsi terhadap pernyataan tersebut, tapi kali ini ia ingin mencoba memikat bule itu dengan tatapan matanya yang akan dibarengi dengan senyuman tipis cukup romantis. Maka begitu bule sexy yang memiliki wajah sensual hampir mirip Brooke Shields itu keluar dari pintu toilet wanita, Frank buru-buru menyunggingkan senyum bersama sapaan ramahnya. "Hay...!" "Hay...," balasnya. "Ikut kecewa juga?" Frank mengangguk dengan suara bernada keluh. Ia tahu maksudnya adalah kecewa terhadap keterlambatan terbang saat itu. Bule berdada montok padat itu merapikan blusnya sebentar sambil melanjutkan keluh kesahnya. "Saya juga kecewa. Service penerbangan di s ini tidak baik," ia bicara dalam bahasa Indonesia cukup lancar, walaupun kurang begitu tepat intonasi dan susunannya. "Memang mengecewakan. Tapi kita harus memaklumi, karena sedang dilakukan sweeping oleh pihak keamanan."Sweeping apa?" "Heroin!" jawab Frank sambil lebih mendekat dan dengan suara agak berbisik. Bule itu terperangah, tapi tak menjadikannya tegang, la hanya geleng-geleng kepala sambil menimbang-nimbang, Frank merasa gembira karena bisa membuat bule ilu tidak segera melangkah. "Sebentar lagi pasti akan selesai. Kita bisa segera take-off." "Well...!" ia mengangkat pundaknya. "Tapi saya paling tidak suka terbang dengan pesawat yang bermasalah. Ada baik, Mau saya concel total , Hari esok saja saya pergi "Jadi sekarang bagaimana?" "Chek-in satu malam di hotel dekat-dekat sini "Anda berdua, Miss?" "Tidak. Saya sendiri saja." "Ooo...," Franky manggut-manggut. Bule itu memperhatikannya dengan pandangan mata sedikit menantang. Frank pun sedikit salah tingkah, sampai bingung harus bilang apa lagi padanya. "Bisa bantu saya cari hotel dekat?" tanya si bule yang terasa semakin mendebarkan hati Frank. Pertanyaan bernada menantang itu sulit dihindari, karena bersifat memaksa Frank untuk menunjukkan kesanggupannya dalam hal apa pun. Maka, pria itu pun menghapus seluruh program yang sudah tersusun dalam benaknya sejak tadi pagi. Kini program baru telah tersusun kembali dalam tempo kurang dari satu menit Tak ada rasa berat hati sedikit pun bagi Frank ketika memutuskan untuk membatalkan rencana kepergiannya. Sebelum meninggalkan bandara, Frank sudah berhasil saling memperkenalkan nama. Wanita bule bermata biru uranium itu ternyata bernama Vicke, mengaku sebagai konsultan teknis komputer dari sebuah perusahaan yang berkantor pusat di Amerika dengan kantor cabang Asia di Singapore. Vicke ditugaskan di Indonesia selama satu tahun lebih. Di Jakarta ia punya pekerjaan sambilan, yaitu mengajar di sebuah perguruan tinggi swasta. Karena apartemennya jauh dari bandara, maka ia merasa lebih baik bermalam di hotel terdekat tanpa harus membuang waktu banyak jika ia besok kembali lagi ke bandara. "Enam bulan sebelum saya tugas di Asia, saya sudah banyak belajar bahasa Indonesia. Ditambah enam bulan saya tinggal di Jakarta dan banyak gaul dengan teman-teman dari sini, jadi saya punya cukup waktu untuk bisa berbahasa Indonesia," kata Vicke sewaktu mereka baru saja memasuki kamar eksekutif di hotel tersebut. Pada waktu itu nuansa maghrib mulai menjelma. Agaknya wanita bule yang berusia sekitar 28 tahun itu menyukai panorama senja sehingga ia bicara sambil berdiri di dekat jendela bergordyn tipis, yang ada di lantai lima hotel tersebut. Frank memandanginya dengan keceriaan wajah yang berlagak, sibuk mempersiapkan diri untuk mandi. "Apakah kata-kata saya masih buruk buat orang Indonesia, Frank?" "No. Menurutku itu sudah bagus. Very good," sanjung Franky dari seberang ranjang. Vicke tertawa senang. "Oh, thank you very much, Frank...," ia menghampiri Franky. Kala itu Franky sedang melepaskan T-shirt dan menggantungkannya ke tempat gantungan pakaian. Dadanya yang bidang dan gempal tampak berbulu tipis. Handuk sudah disambar dengan tangan kiri. Tapi ia tak jadi melangkah ke kamar mandi, karena Vicke mendekatinya. "Dari perjalanan tadi, kamu pandai bikin senang hatiku, Frank." "So...?" "So.:.," suara Vicke menjadi pelan. Matanya menatap dalam jarak berdiri kurang dari dua langkah Tangannya yang berjari lentik mulai menyentuh dada Franky, mengusapnya pelan-pelan. "Apakah masih ada yang bisa lebih menyelimutkan hatiku, Frank?" "tenttu saja ada, kalau kau menginginkannya." Mereka sama-sama diam, sama-sama saling pandang, sama-sama saling menantang dalam senyuman, sampai akhirnya Vicke memperdengarkan suara yang lebih membisik lagi. "Kau sudah beristri?" "Sudah bercerai," jawab Frank. "Tapi aku belum lupa bagaimana cara membuat wanita sangat senang." "Seperti apa cara itu, Frank?" Vicke makin merapat. Frank tak perlu menjawab dengan kata-kata. Hembusan napas Vicke yang menghangat di wajah Frank telah mendorong bibir Frank mendekati bibir wanita muda itu. Tapi belum sempat bibir Frank menyentuh, lidah Vicke sudah lebih dulu menyambarnya. Dalam sekejap bibir mereka saling melumat dengan hangat. "Ohhh, Frank...!" Vicke mendesah. Sebentar-sebentar melepaskan kecupannya, lalu menyambar lagi dengan ganas. Vicke seperti ikan haus oksigen, la mencecarkan kecupannya ke sekeliling wajah Frank sampai ke leher. Tangan wanita itu telah berhasil menyelusup ke bagian dalam. Tentu saja penyusupan itu diimbangi oleh tangan Frank yang Sedikit liar. Dalam tempo singkat Frank sudah berhasil membuat bule itu kehilangan blusnya. Karena memang hanya blus itu yang melapisi tubuh Vicke bagian atas, maka tangan Frank pun dengan mudahnya menemukan bukit-bukit hangat yang masih kencang tapi membusung montok itu. Vicke telah kehilangan seluruh penutup tubuh sexynya. begitu pula Frank. Tapi dia tak mau pindah ke ranjang, la biarkan Frank menciumi tubuhnya dengan kecupan, hingga pria itu berlutut di lantai. Vicke meremas-remas rambut Franky dengan gairah membara. Agaknya Vicke menyukai permainan Franky itu, sehingga desah suaranya makin lama makin meninggi. Tak peduli petang mulai berpindah malam, Vicke masih belum ingin berlayar. Setelah Frank dibuatnya kelojotan dan berkeringat basah, barulah Vicke mengawali pelayaran asmaranya. Dia sendiri yang menjadi nahkoda perahu cinta itu, seolah-olah menunjukkan kehebatannya dalam memainkan irama cinta yang tidak dimiliki wanita Asia. Frank masih tak mau dianggap remeh, la pun bertahan menunjukkan kehebatannya. Apa yang diinginkan Vicke selalu dipenuhinya, sehingga Vicke menghamburkan sanjungan berkali-kali di sela-sela desah napasnya yang memburu. Bahkan ketika nyala lampu menjadi redup dan suasana menjadi temaram, Franky semakin lebih bersemangat lagi dalam melayani keinginan bule itu. Anehnya, pada saat itu Frank tidak merasa lelah sedikit pun, padahal ibarat, orang berlari, ia sudah berlari cepat dan jauh hingga memakan waktu lebih dari satu jam tanpa berhenti. Biasanya Frank tidak bisa berrtahan sebegitu lamanya. Vicke mengamuk dalam luapan puncak kemesraanya. Frank juga tak mampu mempertahankan bendungan asmaranya. Maka jebollah bendungan itu. Vicke menggigit leher Franky. Crass...! "Aaauhk...'!!" Franky mengejang dan berteriak keras keras, la segera meronta dari gigitan itu. ternyata gigi Vicke telah terbenam di kulit leher Franky. Ketika tersentak mundur, robeklah leher Franky dengan mengucurkan darah. Tapi kedua tangan Vicke masih berusaha menahan tubuh Franky dengan kuku-kuku di jarinya terbenam di daging tubuh pria itu. Breet...! Robek kulit lengan Franky saat menarik diri kuat-kuat Darah mengucur dari luka-lukanya. "Fraaankkhhhhrrr...!!" Vicke bangkit, ingin mengejar Franky yang telah melompat turun dari ranjang sambil mengerang kesakitan. Wajah perempuan itu menyeringai dalam cahaya lampu temaram. Franky semakin ketakutan. Tapi matanya tak bisa berkedip dan sulit memandang ke arah lain. Pada saat itu Franky menemukan suatu kejanggalan Rambut Vicke yang pirang menjadi hitam kusam. Kulit wajahnya berubah. Hidungnya yang mancung sedikit mengecil Lama-lama makin jelas perubahan yang terjadi pada diri Vicke. Memang menyeramkan bagi Franky, tapi masih sempat membuatnya sadar, bahwa Vicke telah berubah total menjadi wanita yang sangat dikenalnya . "Elsyana...?! Oooh, kkkaau... kaukah itu, Syana...?!" "Grrrrhhk.,.!!" suara erangan mengerikan itu diiringi dengan lompatan menerkam cepat. Franky terpaku di tempat, seakan masih ingin meyakinkan pandangannya, apakah benar perempuan yang bercumbu dengannya adalah Elsyana Shendra, istrinya sendiri yang telah tewas karena diracunnya melalui minuman ?. (Oo-dwkz-234-oO) 3 KEBERHASILAN Kumala Dewi dalam menangani kasuskasus misteri telah membuat namanya semakin banyak dikenal orang. Lebih-lebih bagi mereka yang menyukai dunia gaib, senang mendengarkan cerita mistik, tertarik pada hal-hal yang bersifat magis, maka dalam benak mereka telah tercatat nama Kumala Dewi sebagai tokoh supranatural yang paling muda. Bagi mereka yang pernah bertemu Kumala, mendengar nama tersebut akan terbayang wajah cantik jelita gadis beraroma wangi itu. Maka, ketika petugas menemukan nama Kumala dan nornor telepon kantornya, tanpa ragu-ragu lagi petugas itu menghubungi nomor telepon tersebut Petugas yakin betul bahwa Kumala Dewi pasti dapat menyingkapkan tabir misteri kematian vang amat mengerikan. "Kami menemukan kartu natma Jimmy Palonna, staf keamanan bandara. Tapi di balikk kartu nama itu tertera nama Nona Kumala bersama nomor telepon ini. Kami yakin, pasti Nona dapat menjelaskan kasus pembunuhan sadis yang dialami atas nama seorang pria dengan KTP DKI dan memiliki nama lengkap: Franky Farihzal. Mungkin Nona mengeenalnya." "Dimana pembunuhan itu terjadi?" "Di.. Tranitas Hotel, jalan menuju bandara." "Baik , secepatnya saya akan meluncur ke sana!" tegas Kumala. Kemudian ia benar-benar meluncur ke Tranitas Hotel dengan BMW kuningnya yang selalu dikemudikan oleh Sandhi. Franky Farihzal baru saja dicatat dalam ingatan Kumala sebagai nama suami mendiang Elsyana Shendra. Sandhi pun ingat tentang nama yang kemarin lusa disebutkan oleh pihak keluarga Elsyana di depan Sersan Burhan juga. Maka, ketika Sandhi ikut melihat keadaan korban pembunuhan di kamar Tranitas Hotel, dalam hatinya cepat berkesimpulan, pelakunya pasti Elsyana sendiri. Motifnya jelas balas dendam. Tapi bagaimana cara Elsyana melakukan pembalasan itu, Sandhi tak dapat membayangkan sedikit pun. Sebab, kondisi mayat Franky sangat mengerikan. Punggungnya terbelah sampai ke bagian dubur. Kulit serta dagingnya masih ada. Terbuka seperti jaket tebal. Tapi seluruh organ dalamnya hilang. Mayat itu tinggal seperti pembungkus tebal yang terkuak lebar. Isi kepala pun ikut habis. Darah tidak berceceran terlalu banyak. "Ini bukan semata-mata balas dendam dari arwah yang penasaran," kata Kumala Dewi saat menjelaskan motif pembunuhan itu kepada pihak yang berwajib. "Secara sepintas memang kelihatannya roh Elsyana yang sudah berhasil bangkit dari kematiannya itu melakukan balas dendam kepada mantan suami yang meracuninya hingga tewas. Dilakukan sebelum sang suami kabur ke luar negeri. Tapi ditilik dari sisi mistik, roh itu sudah mulai memperkuat proteksi fisiknya dengan memakan sari kekuatan raga, yaitu berupa organ tubuh manusia bagian dalam. Semakin banyak ia memangsa organ tubuh korbannya, semakin kebal fisiknya terhadap serangan dalam bentuk apa pun." Bukan hanya petugas kepolisian saja yang menggumam sambil manggut-manggut mendengar penjelasan itu, tapi juga Jimmy Palonna ikut mempercayai kata-kata Kumala. Seandainya pada waktu Franky ingin meninggalkan bandara tidak bertemu lagi dengan Jimmy, dan tidak meminta saran kepada Jimmy tentang hotel mana yang terdekat dan terbaik di bandara, mungkin Jimmy belum mengetahui nasib teman lamanya pada hari itu juga. Karena Jimmy yakin bahwa Frank dan wanita bule itu akan bermalam di Tranitas Hotel, maka dalam perjalanan pulangnya ia sempatkan singgah sebentar ke hotel itu. Ternyata sesampainya di hotel tersebut Jimmy menemukah sahabat lamanya telah terkapar tanpa nyawa dan tanpa organ dalam tubuhnya lagi. Jika Jimmy tidak bermaksud datang bertamu ke kamarnya Franky, mungkin mayat Franky belum ditemukan sepagi itu. "Saya tahu persis dan melihat dengan jelas sekali Franky pergi dari bandara bersama wanita bule Bukan wanita Asia." "Mendiang Elsyana memang bukan orang bule. Tapi ketika ia telah hidup kembali dengan menggunakan kekuatan, gaib yang dicurinya dari seorang pemuda di makamnya, maka ia memiliki beberapa keistimewaan, di antaranya keistimewaan bisa berubah rubah rupa." "Apakah hal itu bukan suatu isapan jempol Maka?" "Bukan," jawab Kumala sambil menggeleng dan tersenyum lembut. Anggun sekali. "Saya mengetahui semua itu dari keterangan teman saya yang juga sedang memburu kebangkitan roh Elsyana," tambah Kumala, tapi ia agak keberatan menjelaskan nama Dewi Angora yang sempat ditanyakan oleh Jimmy kala itu. "Kalau begitu," kata Letnan Rahmat yang memimpin pengusutan kasus tersebut. "... berarti bukan hanya Franky Farihzal saja yang menjadi korban kebangkitan roh Elsyana tapi akan ada lagi korban lain yang mengalami kematian sesadis ini?" "Benar. Sebagaimana kita membutuhkan nasi atau roti jika sedang lapar, maka Elsyana pun membutuhkan organ tubuh manusia pada saat ia merasa lapar." "Gawati Kalau begitu harus segera dikeluarkan himbauan resmi dan serius dari pihak yang berwajib kepada masyarakat agar ekstra waspada terhadap wanita bernama Elsyana. Bukankah begitu, Kumala?" sela seorang wartawan senior yang sejak tadi mengikuti perbincangan tersebut Kumala Dewi membenarkan pendapat wartawan itu. "Mungkin dia akan ganti-ganti rupa dan nama. Tapi ada ciri-ciri khusus untuk dapat mengenali wanita dari kubur itu." "Apa ciri-cirinya?" Kumala diam sebentar; mengingat-ingat penjelasan. Dewi Angora ketika mereka berdua membicarakan tentang mayat yang hidup kembali karena menggunakan Qolbu curian. Rupanya Dewi Angora lebih banyak mengetahui kekeramatan Qolbu curian, sebab dalam status kedewian ia tergolong lebih senior daripada si Dewi Ular. Wajar jika Angora memiliki wawasan dan pengetahuan lebih luas dalam dunia supranatural. "Ciri-ciri khusus yang ada pada wanita dari alam kubur itu adalah tidak bisa menelan minuman yang mengandung soda atau yang berbau alkohol, termasuk arak. Dia akan lekas-lekas menjauhi arak dengan, cara apa pun. Tapi ia akan tampak bernafsu sekali jika melihat organ dalam, yang sering disebut 'jeroan',, seperti...," "Iso, babat, hati, usus, rempela, otak...?" "Ya," sahut Kumala cepat. "Tapi yang masih mentah. Lebih disukai yang masih segar." "Milik manusia atau milik hewan?" "Jeroan dari hewan memang akan menarik perhatiannya, tapi dari aromanya yang tercium, dia dapat mengenali apakah jeroan itu milik hewan atau milik manusia. Jika milik hewan, ia enggan menyantapnya. Kecuali kepepet!" Kata-kata terakhir itu sedikit membuat geli mereka, Sehingga tawa kecil sepintas pun sempat terdengar. Namun tak satu pun dari mereka yang mengomentari kelucuan kecil tersebut, sebab perhatian mereka terfokus kembali pada ancaman maut yang dapat timbul sewaktu-waktu dari wanita bernama Elsyana. Bahkan ketika itu si wartawan senior menanyakan gambaran wajah dan perawakan Elsyana. Kumala Dewi tidak perlu repot-repot menjelaskan secara detil. Karena di tempat mereka bicara terdapat sebuah akuarium berukuran besar dengan terisi air bening dan dua ekor ikan arwana, maka dengan kesaktiannya si putri Dewa Permana itu menyerap bayangan benaknya yang teringat foto Elsyana pemberian pihak keluarga almarhumah itu. Apa yang sedang terbayang dalam benaknya itu diproyeksikan melalui sepasang mata beningnya. Bias bayangan benak melesat tanpa warna tanpa rupa. Tahu-tahu di dalam akuarium besar yang dipandanginya selama kurang dari 10 detik itu tetah muncul seraut wajah wanita cantik berhidung; mancung. "Seperti itulah dia.,.!" Semua terkejut dan sempat ada yang lari menjauhi akuarium. Mereka melihat jelas wajah dalam akuarium itu. Selain cantik dan berbibir sensual agak lebar, ternyata Elsyana memiliki mata membelalak indah, dengan tahi lalat kecil di bawah kelopak mata kirinya. Ia memiliki rambut hitam bergelombang sepanjang lewat bahu. Alis matanya tebal tapi tersusun rapi, dan bulu matanya juga tergolong lebat dan lentik. Pantas jika ia dulu pernah menjadi seorang model, meski kurang begitu dikenal oleh masyarakat pada zamannya. "Cantik juga ternyata," komentar Letnan Rahmat setelah bayangan wajah Elsyana ditarik kembali ke dalam benak Dewi Ular. "Alangkah bodohnya kalau Franky sampai membunuhnya dengan racun,", kata yang lain. "Kabarnya, Elsyana selalu mempermalukan suami dengan caranya sendiri, sehingga sang suami gagal mengawini gadis simpanannya, bahkan membuat gadis itu membenci sang suami, sehingga putuslah hubungan gelap tersebut. Suaminya menjadi sangat marah dan menyimpan dendam selama berbulan-bulan. Menurut keterangan pihak keluarganya, Elsyana sempat berhasil memutuskan jaringan bisnis suaminya, sampai sang suami nyaris jatuh . bangkrut" Sampai di situ Kumala berhenti bicara. Hand-phonenya berbunyi, dan ia segera menerima telepon tersebut yang ternyata berasal dari Pramuda, kakak angkatnya. Dahi gadis secantik bidadari itu ? berkerut sedikit tegang setelah mendengarkan suara Pramuda beberapa saat. Agaknya ada sesuatu yang agak gawat, sehingga usai bicara lewat telepon Kumala buru-buru berpamit meninggalkan mereka. "Ada apa sih?" "Entahlah. Kayaknya ada masalah penting." "Iya. Pasti ada sesuatu yang cukup gawat. Buktinya ia tampak terburu-buru sekali meninggalkan kita." Mereka hanya bisa memandangi kepergian Kumala dan sopir pribadinya dari balik dinding kaca ruangan tersebut. (Oo-dwkz-234-oO) Matahari mulai condong ke barat. Pancaran sinarnya pun tak seberapa cerah. Ada mendung di langit utara yang makin lama makin menebal, juga semakin menyebar luas. Sebagian kabut hitam itu membayang-bayangi sang mentari. Agaknya hujan akan turun, sebab angin berhembus cepat. Alam semakin redup, seperti menjelang pukul enam pelang. Padahal ketika Kumala Dewi meluncur ke kantornya lagi, arloji platinumnya baru menunjukkan pukul tiga kurang. Jalanan pun belum sepadat jam pulang kantor. Sepanjang perjalanan kembali ke kantornya itu Kumala cenderung lebih banyak diam. Membisu dan sebentar-sebentar memejamkan mata. Meskipun tanpa kerutan dahi dan tanpa desah keresahan , tapi sebagai sopir pribadi yang sudah lama melayani si bidadari cantik itu Sandhi sangat paham terhadap situasi jiwa gadis itu. Di balik ketenangannya yang tampak serius itu Sandhi dapat menduga, pasti ada sesuatu yang amat dikhawatirkan oleh sang majikan cantiknya, la tak berani mengganggu dengan pertanyaan, atau canda yang dapat membuatnya mendapat teguran serius. Hanya satu kali Sandhi mencoba bertanya pada Kumala. "Ada apa sih?" "Nggak apa-apa," Jawaban pendek dan datar merupakan suatu pertanda yang sangat dipahami oleh Sandhi. Sopir muda berpenampilan rapi itu baru berani coba-coba bertanya lagi setelah Kumala menggumam pelan, seperti ditujukan pada dirinya sendiri. "Pantas sejak tadi getaran gaibku bergemuruh..." "Apa penyebabnya?" Pertanyaan itu tidak terjawab, atau memang Kumala tak mau menjawab. Yang ia lakukan hanya menarik napas dalamdalam, kemudian membetulkan letak duduknya. Sedikit merebah. Mata pun terpejam kembali seperti tadi. Sandhi memang kecewa, tapi ia segera membuang rasa kecewanya setelah tahu bahwa Kumala Dewi sedang menerawang ke suatu tempat melalui jalur supranaturalnya, dan tempat, tersebut pasti sedang dalam keadaan mencemaskan hatinya. "Kantor...?!" tiba-tiba Sandhi menemukan jawaban dari pertanyaan batinnya sendiri. "Ada apa dengan kantor?!" Hati Sopir berambut pendek rapi itu menjadi ikut cemas. Kecemasan tersebut baru terjawab setelah mereka tiba di kantor. Bangunan yang terdiri dari sembilan lantai itu penuh orang dibagian lobby nya. Pramuda belum lama memindahkan kantornya ke gedung milik sendiri yang sebagian ruangannya disewakan kepada perusahaan lain, Tapi biasanya tak sepadat sekarang. "Ada tiga lantai yang khusus ditempati oleh PT Wahana Graha milik Pramuda itu, yakni lantai tujuh, delapan dan sembilan. Sementara itu lantai pertama sengaja difungsikan secara umum. Hanya saja, saat itu suasana di lantai satu dipenuhi oleh wajah-wajah tegang yang membuat hati Sandhi semakin bertanya-tanya. Sangat penasaran. Kumala Dewi sendiri ketika turun dari mobil dan bergegas menuju lobby tampak diiringi ekspresi cukup serius. Meskipun masih terkesan tenang, tapi kharisma kedewiannya terpancar kuat, sehingga orang-orang buru-buru memberi jalan begitu mengetahui langkah si gadis cantik itu. "Bang Mus, ada apa ini, Bang?!" Sandhi bertanya kepada salah seorang sopir dari perusahaan lilin yang berkantor di lantai dua. Bang Mus menjawab dengan gugup. "Hmm, itu... hhmm, eehhh... lihat sendiri sana deh! Lihat ke lantai tujuh dan... dan.,., pokoknya ke kantor PT mu sana!" Sandhi tak sempat mendesak. Bang Mus. la melihat Kumala sudah mau masuk lift. Tampaknya ada beberapa petugas keamanan di. depan lift yang melarang setiap orang menggunakan lift dan tangga. Hanya orang tertentu yang diizinkan naik ke lantai atas. Karenanya, Sandhi segera menyusul Kumala masuk ke dalam lift, lalu lift pun bergerak ke lantai tujuh. Napasnya sudah terengah-engah akibat debar debar jantung yang makin kuat. "Kumala, ada apa sebenarnya? Kenapa kau diam saja?!" desak Sandhi saat masih berada di dalam lift. Kumala tetap bersikap tenang. Bahkan terkesan dingin. Suaranya datar tapi berwibawa. "Tahan napasmu mulai sekarang." Tepat kata-kata itu berakhir, pintu lift terbuka. Beberapa petugas kepolisian sudah ada di sana, termasuk Sersan Burhan yang segera menyambut keluarnya Kumala dari dalam lift. Pramuda yang sedang bicara dengan beberapa eksekutif yang berkantor di situ segera bertari kecil menemui Kumala Dewi. Wajahnya tegang dan pucatt pasi. Kumala tetap melangkah diikuti Sandhi, masuk ke salah satu ruangan. "Astaga...?!" sentak suara Sandhi nyaris tak terdengar lagi. Wajah pemuda berusia 25 tahun itu juga menjadi lebih pucat lagi ketimbang saat di dalam lift tadi. la terbelalak kaget memandangi para karyawan yang memiliki meja kerja di ruangan tersebut. "Me... mereka... mereka arang semua?!" Sekalipun diucapkan dengan nada mendesah tercekam kengerian, tapi pendapat. Sandhi itu memang benar. Semua karyawan yang ada di ruangan itu menjadi arang hitam, tapi belum hancur berantakan. Satu sentuhan ringan saja bisa membuat bentuk dan posisi mereka menjadi hancur. Ternyata bukan hanya di seluruh ruangan lantai tujuh saja yang mengalami hal demikian. Para karyawan yang ada di lantai delapan dan sembilan juga telah berubah menjadi gumpalan arang kering. Ada yang masih dalam posisi duduk menulis, ada yang masih dalam posisi menerima telepon, berdiri;membawa kertas kerja, berjalan, berlari ingin menghindari sesuatu dan sebagainya. Wajah-wajah yang terukir dalam patung arang hitam itu rata-rata menampakkan keterkejutannya, ketakutan, cemas, heran atau kebingungan. Agaknya telah terjadi sesuatu secara mendadak dan sangat di luar dugaan mereka, yang akhirnya membuat mereka menjadi manusia arang tanpa roh lagi. Pakaian mereka pun menjadi keras, seperti selembar arang tipis yang mudah hancur oleh hembusan agak keras sedikit. Setiap benda yang bersentuhan dengan tubuh mereka ikut menghitam dan menjadi arang, termasuk meja, kertas, gagang telepon, pena atau yang lainnya. Mereka bagaikan telah terjebak oleh suatu keadaan yang tidak memberi kesempatan bagi mereka untuk bergerak, menghindar, bahkan bersembunyi. Seorang off ice boy tampak berhenti melangkah secara mendadak, menjadi patung arang bersama nampan berisi dua gelas-minuman yang dibawanya. Siapa pun orangnya akan merinding dan bergidik ngeri melihat keadaan di lantai tujuh sampai sembilan. Sandhi pun menjadi gemetar dan berkeringat dingin dalam mendampingi Kumala memeriksa ketiga lantai tersebut, karena ia merasa seperti berada di tengah-tengah mayat korban kebakaran. Rasa sedih teramat dalam membuat Sandhi tak henti-hentinya menyeringai dan menyebut nama Tuhan manakala dilihatnya beberapa orang yang dikenal dan sering bercanda dengannya kini telah menjadi gumpalan arang tanpa nyawa. Salah satu dari mereka yang sangat menyedihkan Sandhi adalah gadis berusia sebayanya yang tugas sehari-hailnya menerima tamutamu yang ingin bertemu dengan Kumala. Gadis itu adalah Tiara. Sekarang sudah tidak tampak lagi kecantikannya, selain sosok hitamnya yang rengas dalam posisi duduk di meja front office. "Jangan ada yang menyentuhnya, dan hindari tindakan yang menimbulkan getaran kuat, supaya mereka tetap utuh seperti semula!" kata Kumala kepada Pramuda, tapi sebenarnya ditujukan kepada siapa pun yang saat itu membantu mengamankan ketiga lantai tersebut. "Aku dan Rassy sedang meluncur kembali ke kantor dari menghadiri rapat di Balcon Room, ketika tiba-tiba kudapatkan kabar dari Pak Norman melalui HP mengenai bencana ini, Kumala." tutur Pramuda dengan nada sedih dan masih diliputi kepanikan. Seandainya waktu itu Pramuda tidak sedang keluar kantor bersama sekretarisnya, mungkin dia juga akan ikut menjadi korban seperti mereka di ruang kerjanya, di lantai sembilan. Memang tidak semua karyawan mengalami nasib aneh seperti itu. Ada sekitar dua belas karyawan yang selamat dari bencana misterius itu, lantaran mereka sedang tidak berada di tempat, atau berada di satu sisi yang secara kebetulan tersembunyi cukup aman. Salah satu karyawan yang selamat adalah Pak Norman, kepala bagian cleaning servic Waktu itu ia berada di kamar mandi yang baru saja dibetulkan saluran airnya. "Saat itu saya memang tidak melihat bias cahaya biru sedikit pun. Saya memunggungi pintu ka mar mandi dan memperhatikan saluran air yan baru selesai dikerjakan oleh Karman. Tapi Saya mendengar suara dentuman pelan seperti kompor meleduk," tutur Pak Norman. "Saat itu Karman sendiri ada di mana?" "Di depan kamar mandi, sedang saya suruh ambil lem pipa. Saya juga mendengar suara Karman terperangah pendek, tapi tak begitu menghiraukan. Kecurigaan saya timbul setelah menyadari suasana menjadi sunyi, tanpa suara apa pun. Maka saya segera keluar dari kamar mandi. Dan sangat terkejut mendapatkan Karman sudah menjadi patung arang dalam posisi seperti sedang ingin melompat berbalik arah ke kamar mandi, yaah... seperti yang sekarang terlihat di sanalah...," suara Pak Norman semakin parau akibat menahan duka dan kengerian. Berbeda lagi dengan kesaksian Barnu, staf ekspedisi yang kala itu berada di lantai sembilan. Barnu sedang menunggu pintu lift terbuka, karena ia akan turun ke lantai satu. Ketika itu, lift yarig ada di ujung kiri terbuka dan seorang wanita keluar dari sana. Wanita itu langsung menuju mejanya Hermin, staf administrasi. Dengan suara lantang wanita tersebut bertanya kepada Hermin, kesannya sangat tak sopan dan tak ramah, menurut Barnu. "Saya mau bertemu dengan Kumala Dewi! Di mana ruang kerjanya?!" Hanya itu yang didengar Barnu,selebihnya ia sudah masuk ke dalam lift yang membawanya turun kelantai satu. Tapi saat itu hati kecil Barnu mulai merasa curiga dan bertanya-tanya sendiri, siapa wanita tak ramah itu? Mengapa mencari Kumala Dewi ? dengan sikap tak sopan begitu? Barnu hanya bisa menyimpulkan, bahwa wanita tersebut pasti baru pertama kali datang dan ingin bertemu dengan Kumala. Terbukti dia belum mengetahui bahwa ruang Kumala berada di lantai delapan. Bukan di lantai sembilan. "Karena saya melihatnya hanya sepintas, maka yang saya ingat hanya postur tubuhnya yang agak gemuk dan tinggi itu," kata Barnu dalam kesaksiannya. "Usianya sekitar 45 tahun, tapi masih tampak lincah dan tegar. Wajahnya memang memiliki sisa kecantikan masa muda Hanya saja, kedua matanya yang membelalak itu menimbulkan kesan galak, sehingga mungkin tidak semua lelaki berani beradu pandang dengannya. Sungkan." Finne, resepsionis yang bertugas di lobby bawah, juga memberi kesaksian hampir sama. dengan Barnu. Finne adalah orang pertama yang didatangi wanita berambut lurus panjang agak coklat Wanita itu mengenakan pakaian bergaya muda; celana hitam ketat dan blus dirangkapi rompi panjang hitam pula. la bertanya kepada Finne dengan nada ketus. Pandangan matanya terkesan tajam dan ganas. "Apakah seseorang yang berirama Kumala Dewi berkantor di s ini?!" "Benar, Nyonya. Tapi Zus Kumala sedang...." "Aku tidak peduli dia sedang apa!" sahutnya sambil memicingkan mata, seakan menampakkan rasa permusuhannya kepada Kumala. "Hmm, ehh... maaf, Nyonya," Finne langsung gemetar ketakutan. Sorot pandangan mata wanita itu seolah-olah melumpuhkan mental Finne dan mencekam jiwa. Terbukti gadis berambut pendek itu langsung grogi menghadapinya. "Di mana ruang kerjanya?! Aku perlu bertemu dia sekarang juga!" "Hmm, dii.. diii....!" "Katakan saja, diatas atau di lantai berapa?!" geramnya. "Jangan sampai kau buat kesabaranku habis, hingga semua orang di gedung ini kuhanguskan dalam sekejap!" "lyy, iya... di... di lantai atas!" Wanita itu mendengus, lalu pergi, menuju lift. Kepergiannya meninggalkan shock kejiwaan dalam diri Finne, sampai-sampai gadis itu tak punya inisiatif untuk memberitahukan kedatangan tamu wanita galak itu kepada orang stafnya Kumala. Beberapa saat kemudian, Petrick, rekan sekerjanya kembali dari toilet Tapi Finne masih belum bisa bilang apa-apa kepada Petrick. la justru duduk termangumangu dengan jantung masih berdebar-debar menimbulkan getaran pada persendian tulang-tulangnya. "Fin, ada apa? Kok wajahmu jadi pucat sekali sih?!" tegur Petrick. Anehnya, mulut Finne seperti terkunci, sulit menceritakan kedatangan wanita misterius itu. Kurang dari 20 menit, wanita tersebut tampak keluar dari lift. la bergegas pulang. Finne hanya berani meliriknya secara sembunyi-sembunyi. Ia yakin wanita itu pasti gagal menemui Kumala, sebab tadi sebenarnya Finne ingin mengatakan bahwa Kumala sedang keluar kantor bersama sopirnya, namun sudah terburu-buru dipotong dengan suara menggeram. Ternyata lirikan Finne itu justru mengundang langkah wanita berpakaian hitam yang menggenggam sesuatu di tangan kanannya. Tak jelas apa Yang digenggam, tapi Finne yakin saat datangnya tadi tangan si wanita tidak menggenggam apa-apa, selain tas kecil bertali panjang yang menggantung di pundak. Ketika wanita itu menyempatkan singgah di meja resepsionis, Finne buru-buru menundukkan kepala. Petrick yang menerima kehadiran wanita itu dengan senyum keramahannya. "Selamat siang, Nyonya...," sapa Petrick sedikit kaku, karena belakangan pemuda itu mengaku berdebar-debar ketika beradu pandang dengan wanita tersebut. "Hey, Bung... tolong kau sampaikan pesan ini kepada Kumala Dewi, ya?!" tegasnya kepada Petrick. "Ada seorang wanita yang ingin bikin perhitungan dengannya, cepat atau lambat! Dia tak perlu bersembunyi lagi. Dan sebagai awal perhitungan itu, kuhadiahkan sesuatu yang sangat istimewa padanya di lantai atas. Okey?" Petrick hanya mengangguk, tak bisa bicara juga. Bahkan ia tak sempat bertanya, siapa nama wanita tinggi sekal itu?. (Oo-dwkz-234-oO) 4 UNTUK sementara Kumala Dewi dan Pramuda meminta bantuan petugas kepolisian untuk menutup gedung Wahana Graha. Beruntung sekali sejak terjadinya peristiwa gaib itu belum ada satu pun korban yang tersentuh tangan manusia, sehingga mereka masih tetap utuh. Keutuhan jasad arang mereka itulah yang dijaga ketat, sehingga gedung itu terpaksa harus ditutup. Terutama lantai tujuh, delapan, dan sembilan. "Saya akan berusaha mengembalikan kondisi mereka seperti semula," kata Dewi Ular kepada pi-hak kepolisian. "Jika patung arang itu ada yang rusak sedikit pun, maka ketika nanti mereka berhasil hidup kembali, kondisi fisiknya pun akan mengalami kerusakan. Jangan sampai hal itu terjadi Kasihan mereka," "Tapi apakah kau sanggup menghidupkan mereka kembali, Kumala?" tanya Sersan Burhan yang ikut membantu menangani kasus tersebut "Mudah-mudahan upayaku berhasil, San." "Atau... bagaimana jika pihakku memburu wanita itu dan memaksanya untuk bertanggung jawab terhadap nasib para korban di sini?" "Jangan," jawab Kumala dengan tenang. Penuh kesabaran. " Wanita itu sangat berbahaya. Aku tahu kekuatannya, dan memang hanya akulah yang harus menghadapinya, San. Tapi lebih dulu aku harus berusaha memulihkan para korban sebelum jasad mereka hancur menjadi serpihan arang tanpa bentuk lagi." Dewi Ular yang tampak sangat prihatin itu memang akhirnya tahu persis siapa wanita berwajah galak-galak sexy, seperti penjelasan Petrick dan beberapa saksi lainnya. Wajarlah jika wanita itu ingin bikin perhitungan dengan Rumala Dewi, sebab ia merasa pernah dirugikan dan dikalahkan oleh kesaktian si putri Dewi Nagadini itu. Melalui keterangan beberapa saksi mata, Kumala tak sangsi lagi dengan kesimpulannya, bahwa, wanita itu tidak lain adalah Madam Ladebra, alias Madam Debra, si wanita keturunan Gipsy. Pernah mendapat penghargaan dari Moskow sebagai dukun atau paranormal terhebat, memiliki kekuatan gaib tinggi, mampu mengerahkan mahluk sejenis iblis, dan memiliki delapan pelindung gaib. Hanya saja, para pengawal gaibnya itu pernah dikalahkan oleh Kumala, dan kekuatan hawa saktinya pernah dilumpuhkan oleh Dewi Ular, sehingga muncullah dendam kesumat dalam jiwa Madam Ladebra, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "MISTERI BAYI SETAN"). " Pada waktu itu memang Kumala belum pernah bertatap muka dengan Madam Ladebra. Kumala berhasil memporak porandakan pasukan gaib Madam Ladebra dari jarak jauh, lewat kekuatan mistik yang dititipkan pada Rosita Verrŕ, yaitu mantan kekasihnya Pramuda yang tak jadi dinikahi. Madam Ladebra sempat kebingungan, tak dapat mengetahui siapa pihak yang mampu membuat delapan pengawal gaibnya itu lari tunggang-langgang. Ketika ia menemukan jawabannya, dan mengetahui kekuatan yang dimiliki Kumala dewi, ia tak berani langsung bertindak, la butuh waktu untuk mempertinggi ilmunya, supaya bisa dipakai mengalahkan Kumala Dewi. Rupanya sekaranglah saatnya yang terbaik bagi Madam Ladebra untuk melakukan pembalasan, la telah memiliki kekuatan dahsyat yang diperoleh secara kebetulan, yaitu sebuah pusaka berkekuatan gaib tinggi. Pusaka itulah yang digunakan beraksi di gedung Wahana Graha, dan sempat terekam dalam ingatan Petrick yang melihat jelas apa yang tergenggam di tangan Madam Ladebra pada saat wanita itu menitipkan pesannya sebelum pulang. "Benda itu hampir menggelinding jahih dari tangannya sewaktu membetulkan tali tas di pundak," tutur Petrick kepada Kumala. "Benda itu seperti berlian berwarna biru berkilauan. Seukuran buah salak. Bentuknya seperti kuncup mawar." Pada waktu itu Kumala sempat terperanjat mendengarnya. Penjelasan Petrick yang tak begitu detil itu sudah dapat disimpulkan oleh Kumala Dewi, bahwa benda yang dipegang Madam Ladebra waktu itu pasti pusaka yang dicari-cari Dewi Angora, yaitu intan biru. Kumala masih ingat saat Dewi Angora menerangkan ciri-ciri batu intan biru tersebut. Tak heran lagi jika semua karyawan dari lantai sembilan sampai lantai tujuh bisa berubah menjadi patung arang dalam waktu sangat singkat. Karena memang begitulah salah satu kesaktian yang ada pada batu intan biru menurut keterangan Dewi Angora, Maka ketika Kumala bermaksud mengejar Madam Ladebra setelah memanggil datang Dewi Angora ke kantornya, si putri Dewa Wanandra itu buru-buru mencegah niat tersebut. "Jangan gegabah, Kumala. Kau bisa celaka berhadapan dengannya!" Kumala menatap agak sangsi. Dewi Angora meyakinkan lagi. "Intan itu bukan sembarang intan, seperti yang sering kukatakan padamu. Terbukti, beberapa kali kau mencoba melacaknya tapi gagal, bukan? Itu berarti kesaktianmu belum bisa menyamai kesaktian pusaka milik ayahku yang kini ternyata ada di tangan wanita tersebut Jika kau melawannya, kau akan hancur. Kita harus gunakan siasat untuk merebutnya. Sebab kesaktianku pun tak akan dapat menandingi kekuatan dahsyat dalam batu intan biru, Dewi Ular:" "Siasat bagaimana, menurutmu?" Wanita cantik yang tampak sedikit lebih tua dari Kumala itu menarik napas panjang-panjang dan tertegun dengan kedua tangan terlipat di dada. "Entahlah. Aku belum menemukan siasat yang jitu untuk merebutnya. Yang jelas, jangan sekali-kali mencoba untuk adu kesaktian dengan batu tersebut, Kumala." "Kalau begitu aku akan menangani nasib para korban lebih dulu, sebelum membantumu merebutkan batu intan bini itu." "Aku setuju. Dan, aku akan berusaha mendapatkan petunjuk gaib dengan melakukan semedi nista." "Semedi nista?!" bisik Kumala, heran. Dewi Angora hanya mengangguk samar-samar. Agak sungkan menjelaskannya. Kumala pun segera menangguhkan rasa ingin tahunya tentang 'semedi nista' yang tergolong salah satu jenis dan cara bertapa. Dewi Ular cenderung lebih mengkonsentra-sikan kekuatan batinnya untuk melakukan tindakan spektakulernya, yaitu membuat para korban hidup kembali. Jika hal itu berhasil, setidaknya separuh kemenangan sudah berada di tangannya. Tinggal menunggu bantuan Dewi Angora untuk melumpuhkan kekuatan mistiknya Madam Ladebra. "Kapan kau akan melakukannya, Dewi?" "Secepatnya. Mungkin nanti malam." "Mengapa tidak sore ini saja, mumpung belum turun hujan?" "Ada beberapa syarat yang harus kucari dulu. Belum tentu bisa kutemukan dalam tempo satu jam." "Kalau begitu... bolehkah aku ikut bersamamu saat kau menghidupkan mereka nanti?" "Sebaiknya... lain kali saja." "Dewi, ini momen yang bagus untuk materi acaraku. Mahal sekali materi ini jika bisa kudapatkan dengan sempurna." "Ini bukan atraksi, Nik!" tegas Kumala sambil menatap pemuda tampan yang mengikutinya ke mobil. Pemuda itu adalah Niko Madawi, si pembawa acara 'Lorong Gaib' untuk sebuah TV swasta, la dan teamnya punya tugas memburu kejadian-kejadian misterius untuk ditayangkan di station televisi tersebut Tak heran jika Niko sangat bernafsu merekam adegan spektakulernya Dewi Ular nanti. "Sudah banyak petualangan gaibku yang kau jadikan materi dalam acaramu itu, Nik. Jika kali ini kau menayangkan materi dariku lagi, wajah dan namaku muncul kembali di tevemu, nanti apa kata orang. Kau akan dianggap sebagai media yang mempromosikan diriku, Nik. Kau akan dikecam, dan akan muncul orang-orang yang tak suka padaku lantaran merasa iri. Jadi sebaiknya, kali ini biarkan saja peristiwa gaibku berlalu tanpa kameramu. " Niko Madawi mengeluh dengan raut wajah kecewa. "Carilah peristiwa gaib yang bukan berasal dari diriku, Nik." "Tapi peristiwa ini merupakan peristiwa langka yang sangat mahal untuk dijadikan sebuah berita, Dewi." "Kau selalu beranggapan begitu di setiap petualanganku. Sampai kapan kau akan menganggap perjalanan gaibku ini sebagai perjalanan yang biasa-biasa saja, Nik?" "Habis, kenyataannya memang selama ini apa yang kau lakukan di dunia adalah fenomena-fenomena yang menarik, langka dan nyata! Mana mungkin aku dapat menganggapnya suatu peristiwa gaib yang biasa-biasa saja, Dewi," Gadis itu sudah masuk ke dalam mobil Sandhi sudah mulai menghidupkan mesin mobil. Tapi Niko masih menahan pintu agar tidak tertutup, supaya ia masih punya waktu untuk membujuk Kumala. "Please, Dewi..., jangan biarkan aku kehilangan kesempatan emas ini, sekali saja!" Dewi Ular menghembuskan napas panjang penuh kesabaran. "Nik, jangan sering melibatkan diri dalam acara-acaraku. Nanti menimbulkan kecemburuan terpendam di hati Rayo Pasca." "Okey, aku akan menemui Rayo dan meminta izin dengannya. Jika perlu, aku dan dia ada di se kitarmu pada saat nanti." Senyum indah menawan hati setiap orang itu mekar di bibir ranum Kumala Dewi. Ia menggeleng kecil. Masih menatap Niko dengan penuh persahabatan, namun Juga terkesan mengharap pengertian dari Niko. "Rayo nggak akan menolak keinginanmu, la memang akan mengizinkan. Tapi di balik semua itu, ia bisa menyimpan kecemburuan dan rasa kesal padamu, Nik. Dia tahu, kita pernah menjalin hubungan dekat Dia tahu, kita tetap baik. Sangat manusiawi jika dia memiliki kecemasan di balik bayang-bayang kecurigaannya. Aku nggak mau hubungan baikku dengan Rayo menjadi keruh hanya karena kau sering berada di dekatku, Nik." Kini ganti Niko yang menghembuskan napas panjang. Agaknya ia terpaksa harus menelan segumpal kekecewaan, la pun merasa dituntut suatu pengertian yang bersifat sangat pribadi, "Nik, sorry...," ucap Kumala lirih sekali. Niko pun akhirnya menganggukkan kepala. Sedikit demi sedikit ia mulai bisa memahami jalan pikiran putri dewa dari Kahyangan itu. Agaknya Kumala perlu mengambil tindakan pencegahan sebelum benih kecemburuan benar-benar tumbuh di hati Rayo Pasca. Tindakan ini pun menandakan bahwa Kumala tidak ingin kehilangan Rayo hanya karena kesalah pahaman. Entah seberapa erat kedekatan hati Kumala dengan Rayo, yang jelas Niko harus mau menyadari bahwa dia sudah di luar hati Kumala. Dia hanya sebatas seorang sahabat dekat saja yang tanpa bumbu cinta dalam hati Kumala, meskipun Kumala pernah merasa tak rela menerima kematiannya. Upaya si anak dewa saat menghidupkan kembali kematian Niko adalah jerih payah seorang sahabat yang ingin meluruskan kodrat kehidupan temannya, bukan lantaran masih menyimpan cinta yang dulu sempat bertunas namun tak sempat mengembang, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "WANITA PENJINAK HANTU"). "Aku dapat merasakan kepedihan hati Niko yang kecewa sekali oleh penolakanmu tadi,*' kata Sandhi dalam perjalanan BMW kuning itu. Kumala sedang menekan-nekan handphorienya untuk menelepon seseorang. Tapi ia tetap memberi tanggapan atas kata-kata sopir pribadinya itu. "Terpaksa kulakukan, San. Sebenarnya bukan karena kecemasanku terhadap kemungkinan tumbuhnya rasa cemburu di hati Rayo." "Menurutku sih... kayaknya Rayo nggak akan cembuni deh. Sebab, selama ini Rayo dan Niko justru menjalin persahabatan semakin akrab Ray sangat percaya pada kesetiaan hatimu, dan ia yakin bahwa Niko nggak bakalan berani, macammacam padamu." "Aku tahu, San. Tadi cuma siasat saja," ujarnya kalem, lalu segera menyapa orang yang diteleponnya. Ternyata ia menghubungi teleponnya Sersan Burhan. "Bang Sersan... kalau saya ingin pita kuning yang melingkari gedung kami itu lebih dimajukan ke depan,apa bisa? Ya, ya... maksud saya, gedung itu benar-benar dikosongkan sampai sebatas, pagar depan. Jadi, mulai pukul enam nanti, jangan ada seorang pun yang berada di gedung itu, bahkan jika perlu jangan ada yang berdiri di halaman sekeliling gedung itu. Bisa, ya Bang...?" Belakangan ini memang Kumala sering memanggil Sersan Burhan dengan sebutan Abang. Tentunya hanya dilakukan di tempat-tempat terbatas dan dalam suasana tertentu. Sebutan itu tak lain bertujuan menghormati Sersan Burhan yang usianya lebih pantas sebagai kakaknya Kumala, di samping juga untuk lebih mengakrabkan hubungan mereka. Supaya terkesan sangat familiar, seperti keluarga sendiri. Tapi jika berada di tempat dan suasana formal, Kumala tetap menghormatinya sebagai seorang aparat negara yang perlu dipanggil Bapak oleh siapa pun. Bagi si sopir funky yang dulunya bekas sopir taksi itu, panggilan Bang Sersan yang dilakukan oleh Kumala bukanlah hal yang aneh atau konyol. Baginya itu sudah biasa. Yang membuatnya merasa aneh adalah permohonan Kumala kepada Sersan. Burhan tentang pengosongan gedung Wahana Graha. Tadi sebelum Kumala meninggalkan gedung itu, ia minta agar penjagaan diperketat, beberapa petugas dihimbau untuk tidak meninggalkan lobby. Tapi .sekarang Kumala justru menginginkan agar gedung itu kosong total, tanpa seorang pun di dalamnya. "Kita jangan pulang ke rumah dulu, San," ujarnya tiba-tiba "Lalu, ke mana dulu?" ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== "Aku butuh tiga ruas bambu gading untuk persyaratan ritualku nanti malam, dan..." "Kalau begitu kita ke rumahnya dokter Ghina saja. Aku pernah melihat ada tanaman bambu kuning di sudut halaman belakang rumahnya. Dari sini cuma makan waktu 10 menit udah sampai kok." "Hmm, ya...! Kita ke sana dulu deh. Tapi aku juga butuh sejengkal kayu Dewandaru, San." "Kayu Dewandaru?!" "Ya. Kalau orang Cina menyebutnya kayu pohon Shiantho." Sandhi merenung sebentar, kemudian mencoba menyamakan persepsi. "Pohon Dewandaru apakah yang sering disebut oleh orang Jawa sebagai pohon Cerme Londo?" "Hmmm, ya, ya! Benar itu, San." "Wah, setahuku pohon Dewandaru itu nggak ada yang tumbuh di Jakarta. Kalau di Gunung Kawi memang ada tumbuh pohon Dewandaru yang daunnya sering ditunggutunggu jatuh ke badan para peziarah makam keramat di sana. Masa! sekarang juga kita harus pergi ke Gunung Kawi sih?" "Nggak usah. Seingatku, dulu Ki Sedah Wingit pernah menyimpan beberapa potong kayu Dewandaru buat keperluan sesaji spiritualnya. Kita nanti ke rumah Ki Sedah Wingit saja deh. Aku mau minta sejengkal kayunya itu. Mudah-mudahan beliau masih menyimpannya." "Kenapa harus kayu Dewandaru sih?" "Kayu itu memiliki khasiat gaib cukup tinggi, dan kubutuhkan dalam ritualku nanti." Sandhi menggumam sambil manggut-manggut. Tanpa keluh kesah sedikit pun ia melayani majikan cantiknya, dari rumah dokter Ghina menuju ke arah Bogor. Menemui tokoh paranormal tua aliran putih, yaitu Ki Sedah Wingit, yang sering juga membantu Kumala dalam mengatasi kasus-kasus supranaturalnya, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "MANUSIA METEOR"). Kayu Dewandaru memang satu-satunya persyaratan yang dibutuhkan Kumala dan dianggap paling sulit mendapatkannya. Sandhi agak ragu-ragu ketika itu tapi ternyata kayu langka itu berhasil didapatkan Kumala dengan mudah. Kumala dan Ki bedah Wmgit juga terlibat percakapn serius beberapa saat. Sandhi tak mengetahui isi percakapn itu Yang jelas, ia berhasil membawa pulang majikan cantiknya sampai rumah sekitar pukul sembilan malam. Kumala segera memanggil asisten gaibnya, yaitu Buron, si pemuda jelmaan Jin Layon. Buron disuruh membantunya mempersiapkan segala keperluan yang dibutuhkan. Mereka berada di pendapa belakang rumah. Sandhi berdebar-debar, takut Kumala gagal dan berakibat fatal. Karena, apa yang dilakukan Kumala ini sepertinya sangat berbahaya. Gerimis turun di malam itu. Malam cepat menjadi sunyi. Pedagang makan yang biasanya mendorong gerobaknya mengelilingi jalanan di perumahan itu, kini tampak sepi tidak seramai biasanya. Perumahan Telaga Jati Estate mirip pemukiman mati. Padahal biasanya sampai lewat pukul sepuluh malam pun masih kelihatan ramai. Yang muda-muda bikin kelompok di sana-sini, ada yang bermain gitar, ngobrol dalam canda, main kartu gaple dan aktivitas malam lainnya. Sekarang mereka tak terlihat satu pun. Sepi sekali. Suasana seperti itu agaknya punya sisi keuntungan sendiri bagi penghuni sebuah rumah yang letaknya agak ke dalam, jauh dari gapura tinggi yang menjadi gerbang masuk ke kompleks tersebut rumah berpagar besi putih stainless itu tergolong mungil, cukup untuk hidup sepasang pengantin baru. Karena hanya memiliki satu kamar tidur, satu ruang tamu, Ruang makan menjadi satu dengan ruang tengah, dan dapur yang tak seberapa lebar. Baru seminggu yang lalu rumah itu laku dikontrakkan. Pengontraknya seorang mahasiswa yang baru punya kerja sambilan sebagai makelar jual beli mobil dan motor Mahasiswa itu masih muda. Imutimut dan masih terkesan seperti anak kemarin sore, tapi dia memang punya ketampanan yang menawan. Sering jadi incaran gadis-gadis belia. Hampir semua mahasiswi di kampusnya mengenal namanya, Mereka akan langsung terbayang wajah tampan bersih bermata jernih jika mendengar nama Alvan disebutan seseorang. Usianya memang baru 22 tahun tapi kemampuannya dibidang otomotif cukup tinggi. Sepertinya, Alvan memang memiliki talenta untuk menjadi seorang pakar di bidang otomotif. Bukan hanya tahu dan ahli mengotak-atik mesin, tapi juga mengerti betul tentang bisnis kendaraan di zaman sekarang. Bisnis itu baru-baru ini saja ia tekuni, karena mendapat dorongan moral dari seseorang yang tahu persis kapan saatnya ia mendapat keuntungan. Orang yang dijadikan pemandu bisnis itu adalah orang yang menyarankan agar Alvan pindah dari tempat kost-nya yang lama, dan menempati rumah mungil yang berhasil dikotraknya dengan uang sendiri itu. Para tetangga sering melihatnya hidup sendirian, hanya dengan seekor kucing putih. Para tetangga juga banyak yang mengagumi keindahan kucing putih berbulu lebat dan halus itu. Sampai seminggu ini para tetangga belum mengetahui bahwa kucing putih itu adalah jelmaan dari putri dewa. Kucing itu bisa berubah sendiri menjadi sosok wanita cantik dan sexy, tapi bisa juga berubah apabila dicium seorang lelaki, resikonya, lelaki itu harus mau menuruti keinginan mesra si wanita tersebut, karena jika kucing putih itu dicium maka bukan hanya terjadi perubahan wujud saja, namun juga terjadi ledakan gairah birahi yang menuntut kepuasan dari si lelaki. Wanita cantik berambut panjang dan berkulit putih halus bak kulit bayi itu tak lain adalah Dewi Angora. Bukan hanya kecantikannya yang telah membuat Alvan terpikat padanya, tapi juga kehangatan asmaranya telah membuat Alvan rela untuk tidak berpikir tentang gadis-gadis lainnya. Sebab, menurutnya tak satu pun gadis cantik yang pernah dikenalnya ada yang memiliki daya pikat sebesar Angora. Sekalipun Alvan belum pernah merasakan kehangatan asmara gadis-gadis lainnya, tapi ia telah yakin betul, bahwa tidak ada wanita lain yang memiliki kehangatan asmara seindah Dewi Angora. Sehingga, Alvan merasa tak perlu lagi mencari wanita lain jika ingin mendapatkan kenikmatan di atas ranjang. "Cuma kamulah wanita yang mampu memberikan kebahagiaan berlimpah-limpah di atas ranjang. Kamu adalah sumber kemesraan bagiku, lautan cinta yang tak pernah memberi kesempatan kering bagi peluhku." Pernyataan itu pernah dilontarkan Alvan dalam bisikan malam kepada Dewi Angora. Pernyataan tersebut merupakan sanjungan yang membuat Dewi Angora sangat bangga dan ingin memiliki Alyan, karena pada kesempatan-kesempatan mesra lainnya Alvan sering membisikkan sanjungan serupa itu, meski dengan susunan kata dan bahasa yang berbeda. Karena itulah, kehidupan mereka berdua di rumah mungil itu selalu sarat akan kebahagiaan dan kepuasan jiwa. Mereka ingin mempertahankannya sampai kapan pun. "Kelak, jika urusanku di bumi ini sudah selesai, aku ingin membawamu pulang ke Kahyangan. Kita akan hidup di sana sebagai Suami-isrri yang abadi, Alvan." "Apakah aku akan menjadi dewa dan kau tetap sebagai dewi?" "Itu tidak bisa, Al. Kau tetap manusia, bukan dewa. Tapi kau adalah manusia yang boleh tinggal di wilayah Kahyangan selamanya." "Berarti aku harus berpisah dengan orang tua dan saudarasaudaraku dong? Sepertinya untuk hal itu... aku belum mampu. Berpisah dari duniaku adalah hal yang sulit kujalani. Apalagi di Kahyangan pasti nggak ada motor atau mobil, kan?" Dewi Angora tertawa renyah. "Tentu saja ada cara lain yang bisa kita tempuh nanti, Sayangku. Kau bisa tetap hidup di bumi. Tapi sewaktu-waktu kau ingin menemuiku di Kahyangan, kau punya cara khusus untuk melakukannya." "Aku akan punya password untuk masuk Kahyangan, begitu?" Si cantik Angora menganggukkan kepala dengan senyum manisnya. "Tapi untuk menjadi suamiku kau harus memenuhi beberapa persyaratan, Al." "Apa saja persyaratannya?" 'Tidak boleh membunuh dan bersikap kasar kepada hewan kucing dan sejenisnya, karena akulah dewi penguasa hewanhewan seperti itu." "Sejak kecil hal itu tak pernah kulakukan. Angora." "Ya, aku tahu. Dan, aku percaya kau sanggup memenuhi syarat tersebut Tapi untuk syarat yang satunya lagi, belum tentu kau dapat memenuhinya. AL" "Apa syarat yang satunya?" "Nggak boleh bercumbu dengan wanita lain." Alvan tertawa geli sendiri, tapi Angora tetap melanjutkan kata-katanya tanpa mempedulikan tawa tersebut. "Mencium pipi wanita lain pun nggak boleh, kecuali keluargamu." "Itu juga nggak mungkiri kulakukan, Angora." "Tapi membayangkan bercinta atau berciuman dengan wanita lain pun sudah merupakan noda yang membuatmu nggak akan bisa masuk ke Kahyangan, AL Apalagi jika dalam membayangkan kencan dengan wanita lain sampai membuatmu bernafsu, itu sudah merupakan pelecehan cinta menurut adatku. Dan, kau semakin tak pantas menjadi suami kaum bidadari." Bagi pemuda berambut pendek rapi itu, persyaratan tersebut bukan sesuatu yang sulit dan berat Sangat mudah dan ringan, la sanggup memenuhinya.Bahkan yang jauh lebih berat dari persyaratan tadi pun tetap akan dipenuhi oleh Alvan, asalkan ia dapat hidup bersama Angora sampai akhir hayatnya Ia telah mengaku dengan sejujurnya pada diri sendiri, bahwa ia telah jatuh cinta pada Dewi Angora. Cinta berat Dan, cinta itu telah membuat Alvan selalu menurut saran dan, nasihat Angora. Maka ketika Angora harus melakukan 'semedi nista' untuk mendapatkan petunjuk gaib, Alvan menyatakan siap membantunya. Dewi Angora mengatakan, bahwa tidak ada orang yang pantas membantunya dalam melakukan 'semedi nista' itu selalu Alvan. Sekalipun sebenarnya banyak orang yang bersedia dan mampu membantunya, tapi Dewi Angora tidak berminat memilih salah satu dari mereka. Hanya kepada Alvan lah sang bidadari merasa pantas menjatuhkan pilihannya. "Apa yang harus kulakukan nanti?" tanya Alvan. "Menjadi pasanganku dalam semedi." "Menjadi pasangan?!" Alvan berkerut dahi. Heran. "Kita harus sama-sama tanpa busana." "Lalu...?" "Saling merapatkan badan." "Wow...?!" pemuda itu menyeringai geli, berbinar-binar. "Istilahnya; biraga!" "Dua raga menjadi satu? Tapi sambil ... sambiL..." "Tentu saja sambil begitu. Kalau toh harus berhenti, bolehsaja, asal jangan sampai kita terlepas. Dan aku akan diam saja tanpa perlawanan seperti biasa selama kau berlayar mengarungi tubuhku. Jadi, kau jangan marah dan tersinggung. Sebab pada saat kau berlayar itulah, rohku sengaja terbang menyusuri alam kenikmatan. Tak akan berhenti sebelum kudapatkan petunjuk gaib di dalam kenikmatan itu." "Sampai berapa lama aku harus menganingi kehangatanmu?" "Bisa sampai seharian penuh, bisa sampai dua hari, tiga hari, atau entah berapa hari... yang jelas sampai kudapatkan petunjuk gaib itu." "Waah, apa aku sanggup melakukannya kalau sampai sehari penuh? Apalagi kalau sampai berhari-hari? Mana bisa?" "Pasti bisa. Kau akan kuberi kekuatan khusus sebelumnya, supaya tak merasa lelah sedikit pun, tak merasa jenuh, dan tak akan padam kobaran api gairahmu selama dalam semediku." Alvan menyunggingkan senyum kecil, tapi ia termenung membayangkan apa yang harus dilakukannya nanti. Timbul pertanyaan di hatinya, apa yang terjadi seandainya transfer kekuatan khusus itu habis, tapi Angora belum mendapatkan petunjuk gaib? Dan, apa yang akan dirasakannya nanti jika 'semedi nista' berlangsung hingga berhari-hari, atau bahkan mungkin saja sampai satu bulan lamanya? (Oo-dwkz-234-oO) 5 FAJAR belum sempat menyingsing. Rumah mewah milik Pramuda sudah ramai dering telepon dari mana-mana, khususnya dari pihak, keluarga korban. Emafie, istrinya, ikut membantu menyambut dering telepon, baik telepon rumah yang ada di lantai bawah maupun handphone-nya sendiri. Sebab, sebagai istri Pramuda, Emafie pun mendapat tekanan batin dari pihak keluarga korban, khususnya bagi yang kenal betul dengan Emafie sebelum Ema menikah dengan Pram beberapa waktu yang lalu. Namun dering telepon di ambang fajar itu bukan lagi menanyakan bagaimana kapan jenazah korban bisa diambil oleh pihak keluarganya, melainkan sebuah pemberitahuan atau kabar yang sangat mengejutkan. Baik Pramuda maupun Emafie terbelalak kaget ketika mendengar kabar itu untuk yang pertama kalinya. "Bagaimana nasib jenazah adikku, Pram?! la hilang sekarang ini!" "Hilang? Hilang bagaimana?!" "Para korban sudah tidak ada di tempat!" "Hah...?! Siapa yang mencurinya?!" Sementara itu Emafie juga menerima kabar serupa. "Ema, suruh suamimu bertanggung jawab atas nasib jenazah dua sepupuku itu dong! Kalau sudah begini bagaimana, coba? Mereka sekarang hilang tanpa bekas!" "Hilang tanpa bekas?!" "Iya! Bukan hanya semua korban yang tersekap di gedung itu saja yang hilang, tapi bangunan gedung Wahana Graha juga lenyap tanpa bekas!" "Gedung itu lenyap?!" pekik Emafie begitu kagetnya. Pihak lain berkata pula kepada Pramuda, "Kantormu hilang, Pram! Tidak satu' pun yang tersisa di tempat,kantormu dibangun itu!" "Celaka...?!" geram Pramuda memandangi istrinya yang sama-sama berwajah tegang. Emafie sangat menderita tekanan batin. Sedih dan penuh ketakutan. Pramuda menenangkan istrinya, kemudian segera bergegas menengok keadaan di perkantorannya. Rasa penasaran besar timbul di hati keduanya setelah Sersan Burhan juga meneleponnya dan memberitahukan bahwa bangunan gedung berlantai sembilan itu lenyap tanpa bekas. Pramuda dan Emafie tidak bisa bicara sepatah kata pun ketika tiba di lokasi kejadian. Paling tidak sekitar 10 menit lamanya mereka sulit melontarkan sepatah kata pun melihat kenyataan yang ada di depan matanya.. Sepotong kayu pun tak tersisa di tempat gedung itu didirikan. Tempat tersebut rata dengan tanah. Kosong sama sekali. Sesobek kertas atau serpihan kacanya juga tak tersisa di sana. "Menurut laporan anak buahku yang berjaga mengelilingi pagar perkantoran ini," kata Sersan Burhan. "Mereka melihat cahaya kuning bergerak dari arah timur seperti meteor. Cahaya itu menghantam parabola yang ada di atas gedung, kemudian gedung itu menjadi bertaburan cahaya kuning berpendar-pendar. Kurang dari lima detik, cahaya kuning itu. padam secara mendadak. Dan, bangunan itu lenyap seketika itu juga. Anak buahku dan beberapa orang yang masih berkerumun di sekitar sini menyaksikan kemisteriusan itu dengan terbengong, terpaku di tempat, tak satu pun yang bisa bergerak atau bahkan bicara. Setelah gedung itu lenyap, sekitar lima detik kemudian barulah mereka bisa bicara dan bergerak, seperti terbebas dari pengaruh hipnotis besar." Setelah sadar dari keterpakuannya, Pramuda segera menghubungi Dewi Ular melalui HPnya. Tapi kala itu yang menerima telepon adalah Sandhi, dan agaknya memang saat itu Sandhi bertugas menerima telepon dari mana saja. "Kumala sedang nggak bisa diganggu, Bang." "San, ini masalah penting sekali! Usahakan aku bisa bicara dengan Kumala- sekarang juga!" suara Pram membentak panik. Sandhi menanggapi dengan tenang dan sabar, karena ia sudah terbiasa menerima telepon yang bernada demikian. "Masa! Bang Pram nggak tahu sih, kalau keadaan sedang begini, berarti Kumala sedang nggak bisa diganggu, kan? Bang Pram pasti ngerti sendiri deh." "Iya, aku ngerti. Tapi kantorku sekarang ini lenyap. Hilang tanpa bekas, Sandhi! Aku perlu Kumala!" "Hilang...?!" Sandhi menggumam heran. "Tapi, Bang... Kumala sendiri hilang bersama Buron. Mereka lenyap dari pendapa beberapa waktu yang lalu, Bang." "Waah, kacau deh kalau begini!" "Mereka sedang berada di alam sana. Bang. Jadi, bagaimana saya mesti memberitahukan kepada mereka?!" Pramuda semakin sedih dan diliputi kepanikan yang kian mencekam jiwa. Tapi istrinya segera memberi saran agar Pram berusaha tenang, terutama setelah Ema mendengar kabar bahwa Kumala dan Buron ada di alam sana. "Pasti mereka sedang melakukan sesuatu dan mustahil mereka tidak tahu kalau kantor kita hilang, Pram." Kali ini analisa Emafie benar. Mustahil si bidadari jelita dan Jin Layon tidak mengetahui hilangnya gedung berlantai sembilan itu. Sebab, sebenarnya memang merekalah yang telah membuat bangunan itu lenyap dari pandangan mata manusia. Kumala Dewi yang memberi perintah kepada Buron, asisten gaibnya itu. "Ambil gedung itu seisinya, Buron! Dan, ikuti aku selama kau memanggul bangunan itu!" Perintah tersebut segera dilakukan oleh Buron. Sebagai jin yang memiliki kesaktian tersendiri, tugas tersebut bukan hal yang berat dan sulit bagi Buron Maka, ia pun menjelma dalam bentuk sinar kuning. Sinar yang sarat akan kesaktian bangsa jin itu melesat dan mengangkut bangunan berlantai sembilan itu tanpa bisa dilihat oleh mata manusia biasa. Bangunan itu dipanggulnya dan dibawa terbang mengikuti cahaya hijau kecil berbentuk naga. Itulah cahaya jelmaan Dewi Ular yang sedang melesat menuju alam gaib, bahkan menembus segala dimensi hingga tiba di suatu tempat yang tak pernah terjamah oleh manusia biasa. Tapi bagi mereka yang memiliki ketajaman indera keenam dan sedang berada dalam jarak pandang indera mata keenamnya itu, maka mereka akan melihat sesosok mahluk tinggi, besar, hitam dan hanya mengenakan cawat, sedang melayang sambi! memanggul bangunan berdinding kaca. Bangunan itu adalah posisi tegak, tanpa getaran sedikit pun. Berada tepat di punggung mahluk besar yang merupakan wujud asli dari Jin Layon. Sementara itu, dara manis beraroma wangi juga sedang melayang memandu arah tujuan Jin Layon. Dialah yang disebut-sebut sebagai Dewi Ular. Wajahnya jauh lebih cahtik dari pada saat ia berada di bumi sebagai Kumala Dewi. Salah satu orang yang memperhatikan aktivitas Dewi Ular dan Buron adalah Ki Sedah Wingit Tokoh supranatural yang berusia 80 tahun lebih itu tampaknya memang menepati janjinya, yaitu ingin membantu Kumaia dalam menyelesaikan kasus tersebut. Ki Sedah Wingit yang selama ini menyimpan rasa kagum dan hormatnya kepada Dewi Ular, kala itu melihat dengan jelas Jin Layon memanggul bangunan tersebut menggunakan alas kayu Dewandaru. Sedangkan, Kumala Dewi sebentar-sebentar mengibaskan bambu kuningnya untuk menghalau mahluk-mahluk gaib yang bertujuan merintangi perjalanannya. Dengari bambu kuning itu Kumala dapat menyingkirkan mereka tanpa harus melukai atau menyakitinya. Rupanya bangunan itu dibawa mendekati perbatasan wilayah Kahyangan oleh Dewi Ular. Ketika tiba di perbatasan itu, Kumala memerintahkan Jin Layon untuk menurunkan bangunan tersebut dari punggungnya. Bangunan itu diletakkan di atas tanah berumput halus, bagaikan bentangan permadani berkualitas tinggi. Tanpa getaran sedikit pun Jin Layon berhasil meletakkan bangunan itu, lalu mundur beberapa langkah menunggu perintah berikutnya. Jauh di belakang mereka, segumpal kabut hitam sedang menyusul dengan kecepatan gerak yang cukup tinggi. Kabut hitam itu bergerak seperti mata bor, berputar dan meluncur maju, seakan ingin melubangi alam dimensi lain. Tetapi gerakan itu tertahan oleh cahaya putih berkilauan yang membias lebar hampir menutup seluruh permukaan dimensi alarn, lain. Dentuman terjadi berkali-kali akibat kabut hitam berusaha menabrak cahaya putih tersebut lebih dari lima kali. Kabut hitam itu ternyata adalah kekuatan gaibnya Madam Ladebra yang dikawal oleh delapan panglima iblis. Rupanya Madam Ladebra sudah memberi instruksi kepada para pengawal gaibnya agar menjegal segala usaha yang dilakukan Dewi Ular di alam tersebut, jika sewaktu-waktu mereka memang melihat aktivitas si Dewi Ular. Delapan pengawalnya yang pernah dibuat lari terbirit-birit oleh Dewi Ular itu terlebih dulu mendapat bekal kekuatan dari intan biru yang ada di tangan Madam Ladebra. Tak heran jika lapisan pembendung gaib milik Ki Sedah Wingit yang berupa cahaya putih itu hampir saja jebol dihantam berkali-kali oleh kekuatan delapan pengawal tersebut. Tapi di luar dugaan Ki Sedah Wingit sendiri ternyata ada kabut merah yang membentang di belakang cahaya putihnya. Kabut merah itu menyebar luas, seakan melapisi cahaya tersebut, sehingga kekuatan delapan pengawal iblis itu selalu terpental jika menerjang cahaya putih. "Pertahankan terus kekuatanmu, Sedah Wingit! Akan kutambah dari belakang dengan menyatukan kabutku dengan sinarmu." "Terima kasih atas bantuanmu, Damung Suralaya!" ucap Ki Sedah Wingit yang ternyata sangat kenal dengan si pemilik kabut merah itu, tak lain adalah si Juru Gaib, alias Damung Suralaya, Dia adalah gurunya para gandaruwo yang sangat hormat kepada Dewi Ular. Kedua lapisan kekuatan sakti itu ternyata memang cukup ampuh, karena mampu membuat kabut hitam dari delapan panglima iblis itu tercerai berai pada tingkat penyerangan terakhir. Seandainya Damung Suralaya alias Sang Juru Gaib itu tidak dipanggil namanya oleh Buron, sewaktu Buron diutus mengangkat gedung itu, maka Ki Sedah Wingit akan kewalahan menghadapi delapan pengawalnya Madam Ladebra. Besar kemungkinan kekuatan Ki Sedah Wingit akan hancur pada penyerangan terakhir dari kedelapan pengawal Madam Ladebra itu. Untunglah waktu itu Damung Suralaya mendengar suara gaibnya Jin Laybn, sehingga ia dan Ki Sedah Wingit bekerjasama membentengi wilayah yang menuju ke perbatasan Kahyangan. Kumala sendiri tidak tahu keikutsertaan Damung Suralaya. Apalagi saat itu Kumala segera berhadapan dengan penjaga tapal batas Kahyangan, yaitu pamannya sendiri: Dewa Ardhitaka, alias Dewa Bencana. Beliaulah yang menjadi komandan pasukan perbatasan Kahyangan. "Paman, aku mau ketemu ayah atau ibuku!" tegas Kumala tanpa basa-basi lagi. Justru penuh kepolosan dan keluguan seperti seorang keponakan yang manja kepada pamannya. "Mau apa kau menemui ayah atau ibumu. Dewi Ular?" "Tentu saja ada keperluan penting, Paman, Nanti juga Paman akan tahu sendiri keperluanku." "Dewi Ular, ayah dan ibumu sedang beristirahat Tidak bisa diganggu." "Harus bisa, Paman. Aku butuh bantuan beliau sekarang juga." "Aku takut mendapat hukuman dari Sang Hyang Maha Dewa, karena sebagaimana kau ketahui peraturan di sini, barang siapa mengganggu masa istirahat para dewa, ia akan dikenakan hukuman." "Biar aku yang dihukum, Paman. Aku bersedia , menerima hukuman apa pun. Maka, izinkan aku masuk Kahyangan dan menemui ayah atau ibuku, Paman." "Dewi Ular, kau ini bandel sekali kalau diberitahu. Ngotot!" "Aku hanya ingin menanggung risiko sendiri, Paman. Biar dalam masalah ini Paman tidak kena getahnya. Izinkan aku masuk Kahyangan, Paman!" "Begini saja, Dewi Ular...," kata Dewa Ardhitaka setelah diam sebentar. "Kau boleh masuk ke Kahyangan, tapi ajudanmu dan barang bawaannya tidak boleh ikut masuk," sambil Dewa Ardhitaka menuding Jin Layon yang berdiri dengan kedua kaki merentang dan kedua tangan besarnya bersidekap didada. "Aku harus masuk bersamanya, Paman!" "Itu tidak mungkin, Sayangku. Dia adalah jin. Kahyangan tidak boleh diinjak oleh bangsa jin. Kurasa kau tahu hal itu, Kumala." "Kalau aku nekat masuk bersama Jin Layon dan barang bawaan kami itu, Paman mau apa? Mau marah? Mau menghajar kami?!" Dewa Ardhitaka tarik napas dalam-dalam. Kalau bukan Kumala mungkin sudah diusir dari tadi dengan cara sekasar apa pun. Tapi mengingat Kumala adalah keponakannya sendiri yang selalu manja dan sok bandel jika bertemu pamanpamannya, Dewa Ardhitaka pun memaksakan diri untuk memaklumi sikap si keponakan itu. Selain merasa maklum, Dewa Ardhitaka pun ingat bahwa Kumala memiliki kesaktian cukup tinggi dan pernah menghajar dirinya hingga babak belur, maka kali ini Dewa Ardhitaka pun berpikir 1000 kali kalau harus bertarung lagi melawan keponakannya sendiri, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "PERANG GAIB"). "Repot juga kalau begini!" gerutu Dewa Ardhitaka yang tampak, serba salah menghadapi keponakannya itu. Padahal kala itu prajurit perbatasan yang menjadi anak buahnya sudah membentuk pagar betis terdiri dari tiga lapis. Mereka siap tempur semua. Tergantung kapan datangnya komando dari Dewa Ardhitaka. "Bagaimana, Paman?" "Kalau kau masih tetap bersikeras Untuk membawa bangsa jin masuk Kahyangan, dengan sangat terpaksa Paman akan menghalangi langkah-kalian, Dewi Ular." "Baiklah kalau begitu!" Kumala Dewi merentangkan tangannya. Dewa Ardhitaka semakin salah tingkah walaupun tetap penuh waspada. Jin Layon sudah melepas tangannya yang bersidekap, menjadi bergerak turun perlahan-lahan, menandakan siap bertempur membantu Kumala Dewi. Tapi sebelum semuanya menjadi semakin kacau, sebuah suara terdengar berseru menggema memenuhi alam Kahyangan. "Tunggu...!" Semuanya memandang ke arah datangnya suara yang bernada mencegah terjadinya keributan di tempat itu. Dewa Ardhitaka langsung merapatkan kaki dengan kepala ditundukkan dan badan sedikit menunduk, pertama memberi hormat kepada si pemilik suara itu. Dewi Ular hanya diam terbengong memandangi si pemilik suara tadi, sementara itu Jin Layon segera berlutut dengan satu kakinya dan kepala ditundukkan rendah-rendah, penuh hormat. Agaknya Jin Layon sudah mengenali siapa pemilik suara tadi, sedangkan Kumala Dewi masih merasa asing. Hal itu mungkin dikarenakan Dewi Ular sejak kecil sudah dibuang ke bumi, sehingga belum pernah jumpa dengan dewa yang satu ini, yaitu yang memiliki suara menggema tadi. "Apa yang kau ributkan di sini, Ardhitaka?" suaranya kembali menggema ke mana-mana. Kumala memandang dengan kepala mendongak, karena dewa yang satu ini berperawakan tinggi, besar, sekitar 6 meter tingginya-. Hampir sama dengan tingginya Jin Layon. Rambutnya berwarna ungu berkilauan meriap-riap sepanjang 3 meter. Kumisnya juga berwarna ungu, sama dengan jenggotnya yang panjangnya hampir 2 meter dan alisnya yang lebat itu. la mengenakan jubah ungu berbintik-bintik emas. Kedua kakinya berdiri di atas peti mati emas yang panjangnya sekitar 10 meter dan lebarnya sekitar 6 meter. Peti mati itu dikelilingi kabut warna ungu yang menyebarkan aroma sejenis hio. Peti mati emas itu melayang di udara setinggi satu meter di atas permukaan tanah berumput halus itu. "Keponakan kami, si Dewi Ular, memaksa ingin masuk Kahyangan bersama-sama jin pengikutnya dan barang bawaannya, Paman Pralaya." Kumala membatin, "Oob... jadi ini yang di sebut-sebut ibuku waktu menceritakan silsilah leluhurku. Dewa Pralaya, alias Dewa Kematian. Hmmm, kalau begitu aku haras memberi hormat pada beliau, sebab beliau adalah, adik dari kakekku sendiri: Dewa Murkajagat." Maka, gadis cantik berjubah hijau bergambar naga emas itu segera berlutut dan menundukkan kepala. Dewa Pralaya tersenyum tipis sambil masih menimang-nimang kipas pusakanya yang berwarna ungu dengan serat berbulu indah itu. "Eyang, saya menghaturkan sembah bakti penuh hormat walaupun terlambat habis, saya tidak tahu kalau Eyang adalah Dewa Pralaya." Tertawa juga sang dewa tinggi besar itu melihat kepolosan gadis yang masih tergolong cucunya sendiri itu. "Berdirilah, Cucuku yang manis. Sembah baktimu sudah kuterima, keterlambatanmu juga sudah kumaklumi, Cah Ayu...." "Terima kasih, Eyang." Kumala Dewi pun berdiri, kepalanya masih mendongak, karena ketinggiannya tak seimbang. "Ada masalah apa, Cah Ayu...? Mengapa kamu mau bikin ribut lagi di perbatasan Kahyangan ini, hm?" "Eyang, di dalam gedung yang kami bawa in; ada sejumlah manusia tak berdosa menjadi korban kesaktian batu intan biru, yang...." "Hmm, ya, ya... aku tahu sekarang," potong Dewa Pralaya. "Aku sudah melihatnya sendiri dari sini, Cah Ayu. Mereka mati hangus, menjadi patung arang, bukan?" "Betul, Eyang. Tapi mereka tidak bersalah. Mereka menjadi korban perselisihanku dengan Madam Ladebra yang kini telah memiliki pusaka batu intan birunya paman Dewa Wanandra itu, Eyang. Saya bertanggung jawab mengembalikan kehidupan mereka seperti semula. Jika tidak begitu, maka apalah artinya saya hidup di bumi dan diakui sebagai putri dewa Saya lebih baik tidak usah punya leluhur dewa kalau tidak bisa mengembalikan kehidupan mereka,Eyang." "Cah Ayu... jangan murung wajahmu, jangan duka hatimu. Aku sangat mengerti perasaanmu. Kamu keturunan dewa. Tak boleh kalah dengan para pecundang iblis." "Jadi, bagaimana dong, Eyang?" "Biar kutangani masalahmu. Cah Ayu. Tak perlu kau bikin gaduh ayah ibumu .yang sedang beristirahat di peraduan asmaranya." Dewa Pralaya segera mengibaskan kipasnya. Wuuut...! Kibasan itu menyebarkan cahaya ungu berbintik-bintik seperti bintang kecil. Cahaya ungu itu segera mengurung bangunan berlantai sembilan yang di depannya menyerupai miniatur, sebab ketika pertama kali suara Dewa Pralaya terdengar bangunan itu menyusut sendiri. Sedikit demi sedikit menyusut terus selama suara Dewa Pralaya terdengar menggema di antara mereka. Kini bangunan itu terbungkus cahaya ungu berbintik-bintik. Indah sekali kelihatannya, namun besar sekali kesaktian di dalamnya. Cahaya itu berpendar-pendar terus, tak padampadam. "Cah, Ayu...," kata Dewa Pralaya. "Bawa pulang bangunan itu. Tempatkan kembali pada tempatnya semula, sebelum mereka yang ada di dalamnya menjadi buta lantaran melihat keadaan-di s ini." "Layon, bawa pulang mereka dan kembalikan secepatnya di tempat semula!" perintah Dewi Ular, tegas namun tak terkesan galak. Jin Layon pun segera mohon pamit, dan pergi lebih dulu dengan memanggul bangunan itu yang makin lama makin membesar kembali. Kumala masih ingin menggunakan kesempatan atas pertemuan dengan tokoh yang mengendalikan kematian semua mahluk itu. la menanyakan tentang rahasia melumpuhkan pusaka intan biru yang diduga akan dijadikan senjata pamungkas bagi Madam Ladebra dalam misi balas dendamnya itu, Tapi sang Dewa Kematian justru tertawa dalam gumam, menyerupai puluhan guntur menyebar ke berbagai arah. "Cah Ayu, kusarankan jangan mencampuri urusan keluarga Dimas Wanandra. Biarkan putrinya sendiri yang berusaha merebut batu Intan pusaka itu. Hindari dulu perempuan yang mendendam padamu itu. Setelah batu intan biru berhasil direbut Dewi Angora, barulah kau selesaikan urusanmu dengan perempuan tersebut Terlalu naif kalau kau mencampuri urusan keluarga Dimas Wanandra, Cah Ayu." Pada dasarnya Dewa Pralaya keberatan memberitahu rahasia mengalahkan intan biru. Agaknya usaha Kumala untuk membujuk atau mendesak juga akan sia-sia. Ia putuskan untuk segera menyusul Jin Layon setelah menghaturkan sembah dan berterima kasih kepada adik dari kakeknya, juga kepada sang paman penjaga perbatasan. Kumala perlu ? mengawal perjalanan Jin Layon, sebab jika Jin Layon mengalami hambatan atau tersesat salah arah, dan cahaya ungu yang membungkus bangunan itu telah padam, maka orang-orang di dalamnya akan hidup kembali dan mereka akan buta kalau sampai menyadari keberadaan mereka. Setidaknya para korban akan hidup kembali dalam keadaan gila jika sampai mengetahui diri mereka sedang melayang menembus alam dimensi lain di punggung jin berukuran besar yang menyeramkan itu. "Ke mana dia? Masa' sebegini cepatnya aku menyusul tapi Buron belum kelihatan batang hidungnya?!", pikir Kumala mulai cemas. "Mestinya sejak tadi sudah tersusul olehku jika ia melewati jalur ini!" Maka mulailah Kumala Dewi diliputi kecemasan dan kebingungan. (Oo-dwkz-234-oO) Kasus hilangnya bangunan berlantai sembilan, dan para korban yang menjadi patung arang itu kini sudah termuat di beberapa surat kabar. Bahkan hampir 90% penduduk Jakarta sudah mengetahui kasus aneh itu, dan kini sedang ramai menjadi bahan pembicaraan dari mulut ke mulut. Para ahli metafisika, beberapa paranormal, dan 'orang-orang pintar' di bidang supranatural mulai berkumpul di sekitar tempat hilangnya gedung tersebut. Entah siapa yang mengkoordinir mereka, yang jelas berbagai telaan dan teropong gaib telah mereka lakukan. Lalu, keluarlah berbagai macam pendapat dari masing-masing paranormal Itu. Sebagian ada yang sama, sebagian lagi berbeda pendapat. Alhasil kesimpulan yang terkumpul dari pendapat paranormal itu justru membingungkan masyarakat awam. Seharian itu matahari bagaikan takut menampakkan kesaktiannya. Kabut hitam yang sering disebut-sebut sebagai mendung penampung hujan itu sejak pagi hingga slang menutupi permukaan matahari. Suasana menjadi sangat misterius, seakan kota Jakarta terselimuti oleh cuaca yang mengandung hawa magis. Mereka tak tahu bahwa gedung itu sedang dibawa ke perbatasan Kahyangan, dan perjalanannya memakan waktu hampir sehari semalam. Menjelang petang tiba, hujan gerimis turun rintik-rintik, membuat beberapa orang yang berkumpul di lokasi kejadian segera menyingkir. Ada yang meneduh di tempat tak jauh dari lokasi kejadian, ada pula yang langsung pulang ke rumah atau ke kantornya bagi para wartawan yang sedang mengejar berita untuk medianya. Sersan Burhan dan anak buahnya masih mondar-mandir di sekitar lokasi kejadian, sebab Pramuda yang telah menyadari kemisteriusan itu ada kaitannya dengan hilangnya Kumala dan Buron, berkali-kali meyakinkan para petugas keamanan, bahwa gedung itu pasti akan muncul kembali. Ternyata pernyataan Pramuda itu memang benar. Tak seorang pun,yang melihatnya, ketika di awal petang guntur menggelegar berkali-kali, cahaya ungu tampak berkelebat dalam sekilas. Bumi menjadi terguncang seperti dilanda gempa kecil.Mereka dikejutkan oleh getaran bumi. Mereka dibuat beralih perhatian ke bangunan sekeliling lokasi. Dan ketika mereka menatap kembali ke tempat hilangnya bangunan tersebut, merekapun tersentak kaget dan saling berseru menuding ke arah yang sama. "Hei, lihat... gedung itu sudah kembali!" "Itu dia gedung yang hilang!" "Lho, kok sudah ada di situ, ya?!" "Waaah... para korban sudah dikembalikan bersama gedungnya!" "Sejak kapan gedung itu muncul, ya?" "Mungkin waktu terjadi gempa sekejap tadi!" Petugas keamanan membentuk pagar betis sangat ketat. Tidak seorang pun diizinkan memasuki gedung itu. Bahkan menginjakkan kaki ke halamannya pun dilarang keras. Sersan Burhan sendiri belum berani mendekati gedung itu. Ia mencoba menghubungi telepon rumahnya Kumala untuk mengetahui perkembangan di sana dan menanyakan izin masuk ke gedung tersebut. Tapi sebelum hubungan telepon tersambung, suasana menjadi semakin heboh, karena lampu-lampu di lantai tujuh, delapan dan sembilan menyala dengan sendirinya. Semula mereka merasa aneh karena menyangka lampu menyala sendiri. Tapi setelah mereka melihat bayang-bayang manusia bergerak hilir mudik di ketiga lantai itu, mereka menjadi yakin bahwa lampu-lampu itu sengaja dinyalakan oleh beberapa orang yang ada di ketiga lantai tersebut. "Tapi di sana kan nggak ada orang?!" "Benar. Yang ada cuma para korban." "Lalu, siapa yang bergerak hilir mudik itu?!" Gempar. Sekalipun gerimis turun rintik-rintik, tapi hampir semua orang ingin mendekati gedung itu. Suara histeris terdengar di sana-sini, karena mereka melihat para korban yang semula sudah menjadi patung arang itu kini berhamburan keluar dari lobby bangunan bertingkat sembilan itu. Ternyata para korban telah hidup kembali, utuh seperti sediakala. Tanpa luka dan tanpa gangguan jiwa sedikit pun. Mereka hanya merasa terheran-heran, mengapa sampai malam tiba mereka masih berada di kantor. Bertambah heran lagi setelah mereka melihat banyak orang berkerumun di luar bataS pagar perkantoran tersebut. "Hallo, Kumala...? Ini Kumala Dewi, ya...?!" seru Sersan Burhan ketika hubungan teleponnya tersambung, dan seorang gadis menerimanya dengan suara khas, lembut serta penuh persahabatan. "Ada apa, Bang Sersan?!" "Semua korban hidup lagi. Bagaimana ini?!" "Bebaskan mereka, biar bertemu sanak keluarganya. Mereka memang telah bebas dari pengaruh maut kekuatan gaib." Maka, saling berpelukanlah mereka dengan keluarga masing-masing yang sejak kemarin berdebar-debar menunggu nasib mereka sebenarnya. Kumala Dewi sendiri tersenyum lega ketika mendapat kabar para korban telah hidup kembali. Hampir saja usahanya itu gagal, karena Buron sempat dibuat tersesat oleh kekuatan delapan pengawalnya Madam Ladebra. Untung saja kesaktian Ki Sedah Wingit dan si Jura Gaib tetap mengawasinya, sehingga ketika Kumala Dewi kebingungan mencari Jin Layon, kedua sahabat itu telah menarik kembali arah perjalanan pulang Jin Layon. Lalu,Kumala pun mendampingi asistennya itu, dan kedelapan pengawal iblis tak ada yang berani mendekat lagi. Namun keberhasilan Kumala itu hanya merupakan separuh dari kemenangannya. Madam Ladebra yang mendengar kabar hidupnya para korban segera menyusun rencana untuk melakukan kekacauan yang kedua dan mungkin yang ketiga, empat hingga seterusnya, la ingin mempermalukan Kumala sebelum akhirnya nanti akan berhadapan dengan gadis cantik itu. Kumala sendiri sempat agak canggung menentukan sikapnya. Haruskah ia menghindari Madam Ladebra selama perempuan itu masih memegang intan biru? Atau, tetap menghadapinya dengan terlebih dulu menemui Dewi Angora untuk mengetahui rahasia 'melumpuhkan intan biru. Tapi apakah sampai saat itu Dewi Angora telah mendapatkan petunjuk gaib semedi nistanya? (Oo-dwkz-234-oO) 6 RIBUAN orang memadati lapangan sepak bola Senayan. Sore itu dilangsungkan sebuah final antar kesebelasan, yang masing-masing kesebelasan memiliki penggemar fanatik. Para bonek pun berdatangan dari luar kota hanya ingin menyaksikan duel paling seru antara dua kesebelasan yang dari dulu selalu menimbulkan keributan jika mereka betanding di lapangan. Entah berapa puluh ribu manusia yang memenuhi Senayan, sampai-sampai tempat tersebut tak mampu menampung semua penonton yang membanjirinya. Petugas keamanan dan panitianya kewalahan menghadapi serbuan para bonek yang mendesak masuk disetiap pintu utama. Mereka yang sudah berhasil mendapat tempat di tribun mulai berteriak-teriakTnemberi semangat para pemain idola mereka yang sudah bersiap-siap di tengah lapangan. Tapi ada salah satu penonton yang tidak ikut berteriak-teriak seperti mereka. Penonton yang dari tadi diam saja dengan senyum tipis itu adalah seorang wanita berambut panjang. Wanita itu tak lain adalah Madam Ladebra, yang dengan kekuatan gaibnya mampu menerobos masuk melalui pintu utama, dan tahu-tahu sudah ada di deretan bangku teratas dari sebuah tribun. "Kali ini aku punya kesempatan unjuk gigi di mata dunia!" gumamnya dalam hati. "Ribuan manusia yang memenuhi tempat ini akan kujadikan arang semua, dan Kumala Dewi tidak akan mampu menyelamatkan mereka dalam jumlah sebanyak ini. Hmmm, sebaiknya kukerjakan nanti saja, menjelang setengah permainan. Supaya yang berada di sini semakin padat, dan kematian mereka akan lebih mengguncangkan dunia!" Madam Ladebra benar-benar ingin bikin sensasi gila-gilaan. Dengan intan biru yang disembunyikan di dalam tas kecilnya itu ia akan membunuh semua orang yang ada di sekeliling Senayan. Tentu saja hal itu akan membuat Kumala nantinya kewalahan menghadapi kematian sekian banyak orang. Tak mungkin rasanya jika Kumala harus mencabut Senayan dan membawanya ke perbatasan wilayah Kahyangan, seperti yang dilakukan atas gedung bertingkat sembilan itu. Tapi ketika pertandingan sudah berlangsung seperempat permainan, tiba-tiba Madam Ladebra berubah pikiran. Pandangan matanya mulai sering tertuju kepada seorang pemuda berambut ikal, bercambang tipis, dan bertubuh macho. Pemuda itu bersorak-sorai kegirangan ketika kesebelasan idolanya melakukan penyerangan ke gawang lawan la tak tahu, atau pura-pura tak tahu, bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh sepasang mata galak berkesan mesum. Pemuda itu berdiri di depan Madam Ladebra, sedikit ke arah kanan. Gol pertama membuat Senayan bergemuruh. Penonton di tribun saling berdesakan. Madam Ladebra sempat terdorong ke depan. Entah bagaimana, tahu-tahu Madam Ladebra sudah berada bersebelahan dengan pemuda macho bercambang tipis itu. Si pemuda masih diliputi perasaan girang, sehingga celotehnya berhamburan menyanjung-nyanjung pemain yang berhasil memasukkan bola kegawang lawan tadi. "Ajaib! Benar-benar ajaib Masa' dengan melambung begitu dia masih sempat menyundul bola dengan arah yang tepat. Gila kan itu?! Tapi... tapi memang cuma dia pemain yang profesional dari dulu. Betul nggak, Tante?" "Profesional dan proporsional, menurutku." "Ya, ya... maksud saya juga begitu. Saya paling kagum sama pemain yang satu itu. Kagum sekali deh." "Sayang-sekali kalau dia harus keluar lapangan , dan digantikan dengan yang lain." "Ah, saya rasa. itu nggak akan terjadi, Tante. Masa' pemain sehebat dia mau digantikan sama pemain yang belum tentu memiliki potensi yang sama?" "Lihat aja nanti. Pasti dia digantikan sama pemain cadangan." "Ha, ha, ha, ha... itu nggak mungkin deh. Berani taruhan apa, hayo?!" pemuda itu tertawa-tawa sambil menantang serius. "Kalau dia diganti pemain cadangan, kau sanggup memberiku hadiah?!" "Boleh. Tapi kalau sampai permainan terakhir dia nggak diganti, Tante yang kasih hadiah pada saya? Okey?" "Okey...! Tapi... apa hadiah yang akan kau berikan padaku seandainya taruhanku menang?" "Terserah. Tante boleh pilih, mau hadiah apa? Saya sih siap saja memberikannya. Asal jangan mahal-mahal." Madam Ladebra tertawa kecil sambil manggut-manggut. Pemuda itu berteriak-teriak lagi memberi semangat pemain andalannya yang sedang menggiring bola menembus pertahanan lawan. Semakin banyak pemain itu menghindari rintangan, semakin seru sorak dari para sporternya. Tapi tibatiba lawan bermain curang. Pemain yang tadi memasukkan gol terjungkal. Cedera berat. Akhirnya pemain itu diusung keluar lapangan. Beberapa saat masuk kembali, tapi segera digantikan oleh pemain cadangan atas pertimbangan kesehatan. "Yaaahhh...!" pemuda itu,mengeluh kecewa, tapi Madam Ladebra tersenyum-senyum ceria. "Aku berhak mendapatkan hadiah darimu, bukan?" "Yah, apa boleh buat deh.... tapi nanti, ya... kalau pertandingan sudah selesai?" "Kita pulang bersama, maksudmu?" "Boleh. Kebetulan saya bawa mobil sendiri. Tapi saya parkirkan di gedung seberang sana. Biar nggak jadi sasaran bonek-bonek yang kemungkinan bisa mengamuk seusai pertandingan ini. Tante bawa mobil?" Madam Ladebra menggeleng. Pemuda itu tampaknya memang sportif. Dia ingin menepati janjinya. Bahkan ia lebih dulu memperkenalkan namanya: Sambo. Perempuan tinggi bertubuh sekal yang masih memiliki kecantikan sensual itu menyebutkan nama panggilan secara lengkap, sehingga untuk selanjutnya Sambo memanggilnya: Madam. Bukan menggunakan kata Tante lagi. Penampilan Sambo yang cenderung membakar gairah kaum wanita itu membuat Madam Ladebra semakin jauh dari niat semula. Intan biru tak jadi digunakan untuk membunuh sekian ribu orang di stadion Senayan, karena perhatian Madam Ladebra selalu tertuju pada Sambo. Apalagi di selasela sorak ceria Sambo selalu terisi oleh canda dan obrolan ringan tentang dunia ranjang, hati Madam bertambah girang. Batinnya makin menuntut kemesraan, karena hasratnya meletup-letup tiada henti. Pertandingan sepak bola itu diakhiri dengan keributan antar sporter. Suasana menjadi kacau balau. Sebenarnya keadaan seperti itu sangat menguntungkan bagi Madam jika ia masih berhasrat untuk membunuh sekian banyak orang di stadion Senayan. Tapi karena batin selalu mendesak birahi, maka keinginan Madam untuk segera mendapatkan kehangatan asmara Sambo semakin membuatnya tak berminat mengeluarkan batu intan biru. Minatnya yang paling kuat ketika itu adalah membawa keluar Sambo dari keributan masal. Dengan menggunakan kekuatan gaibnya, ia berhasil memindahkan Sambo ke tempat yang aman dan tidak dipenuhi oleh tawuran para bonek itu. "Di mana mobilmu, Sam?" "Itu... di tempat parkir gedung itu! Kita menuju ke sana saja. Madam." "Lewat arah timur, biar tidak kepergok lempar-lemparan batu!" Sambo menuruti saran itu. Ternyata mereka memang bisa. selamat sampai ke tempat mobil Sambo diparkirkan. Mereka juga berhasil lolos dari kawasan Senayan dengan aman. Feroza biru yang dikemudikan Sambo meluncur lurus meninggalkan jembatan Semanggi. Mengarah ke daerah utara. Sambo baru sadar akan ketidak tahuannya tentang tujuan mobil yang distirnya itu. "Wah, kok ke arah s ini s ih? Mau ke mana kita ini? Mestinya kita ke arah Kebayoran Baru, Madam. Sebab... " "Sudahlah, jalan terus dulu. Nanti bisa kita rundingkan setelah kita singgah sebentar di Coffee Shop Malaga." "Coffee Shop Malaga? Yang ada di lobby Serena Hotel itu?" "Benar. Kita minum kopi dulu dong, sebelum kau penuhi permintaanku sebagai hadiah yang harus kuterima darimu tadi." Sambo tertawa lepas. Tetap ceria dan bersemangat. Mereka pun segera parkir Serena Hotel yang terdiri dari 17 tingkat itu. Madam Ladebra sengaja memilih tempat minum kopi di situ, karena ia mempunyai tujuan lain. Tujuan itu tersirat dari percakapan mereka selama menikmati kentalnya kopi hangat yang beraroma, wangi. Sambo lebih banyak tersenyum-senyum malu jika arah pembicaraan Madam Ladebra menyinggung-nyinggung masalah kejantanannya. "Pria yang jantan tidak pernah merasa minder berhadapan dengan perempuan segala usia. Biasanya pria yang jantan cepat memahami keinginan wanita yang tersembunyi dari tatapan matanya. Bukankah begitu, Sam?" "Saya bukan pria yang jantan. Jadi saya nggak tahu, Madam." "Omong kosong kalau kau bukan pria yang jantan. Kau belum membuktikannya. Mana mungkin aku mau percaya begitu saja?" "Apakah perlu bukti?" "Tentu dong. Aku meminta hadiahku. Dan hadiah itu adalah bukti atas kebenaran pengakuanmu tadi: jantan dan bukan jantan. Kurasa kali ini aku akan menang lagi jika bertaruh denganmu, Sam." "Ah, Madam bisa aja...," Sambo tertawa malu-malu. Mungkin karena usianya masih sekitar 27 tahun, sehingga ia merasa malu dan minder berhadapan dengan tantangan mesra perempuan seusia Madam Ladebra. Karena perempuan seperti Madam Ladebra dianggapnya sebagai perempuan yang sudah sangat matang; sangat berpengalaman di dunia keromantisan, serta mampu- mengenali kemampuan seorang lelaki dalam bercinta. Itulah sebabnya Sambo sejak tadi sengaja banyak membuang pandangan matanya, sebab Madam Ladebra sering menatap dengan mata agak sayu. Seakan sengaja menggoda dan menantang keberanian Sambo untuk memamerkan kehebatannya di atas ranjang Semakin sering beradu pandang semakin berdebar-debar hati Sambo, sehingga gairah bercintanya bergetar kuat. Terguncangguncang oleh satu keinginan yang malu diucapkan secara blak-blakan. Tapi agaknya Madam Ladebra memancingnya terus tiada henti, sehingga pada akhirnya Sambo merasa tak perlu menghindar lagi. " Bagaimana kalau kita check-in saja di salah satu kamar hotel ini, Sambo? Biarlah aku yang menghubungi resepsionis untuk booking satu kamar. Okey...?" "Kalau memang itu hadiah yang Madam minta dari saya, yaah... terserah saja. Saya sih okey-okey saja, Madam." Madam Ladebra ternyata benar-benar sudah dibakar habishabisan oleh gairahnya sendiri. Maka ketika Sambo dibawanya masuk ke kamar yang telah dibookingnya, pintu kamar langsung dikunci. Sambo baru saja duduk di sofa, tahu-tahu sudah didekati dan langsung dicium pipinya. "Madam...?" Sambo tersentak kaget. Tapi perempuan itu tak mau peduli dengan keterkejutan Sambo. la bahkan duduk di pangkuan Sambo, merangkulkan kedua tangannya di leher pemuda itu. memandanginya penuh nafsu bercinta. "Kau sangat menggairahkan, Sam. Aku tak tahan lebih lama duduk di sampingmu tanpa harus menyentuhmu. Ooh, Saam...." Pemuda itu segera diciumnya. Si pemuda berusaha menghindar karena merasa belum siap Tapi justru bibirnya tertangkap bibir Madam, dan dilumatnya bibir itu tanpa ampun lagi. Sambo terpaksa menyambutnya dengan pagutanpagutan kecil. Justru pagutan itu menambah, ganas lumatan bibir Madam Ladebra. Bahkan tangan Sambo dituntunnya agar menyusup di belahan dadanya. Tangan itu menemukan gumpalan hangat yang segera dipermainkan bersama kelincahan bibir menerima lumatan lidah Madam Ladebra. Desir-desir kenikmatan menjalar ke sekujur tubuh Madam Ladebra. Keindahan pagutan Sambo itu membuat Madam semakin menuntut tindakan lebih atraktif lagi. Tubuhnya yang sekal, agak gemuk dan tinggi itu kini dibaringkan di ranjang. Madam Ladebra menarik tangan Sambo agar menyentuh tempat yang lebih peka oleh keindahan itu. Tangan tersebut mengerti kemauan Madam Ladebra, sehingga dengan leluasanya menari-nari selama bibir mereka saling melumat, saling memagut, dan lidah saling memilin. Kecupan Sambo lama-lama turun ke bawah. Akhirnya perempuan itu tak sanggup menunda pelayaran terlalu lama. Ia sendiri yang mengawali pelayaran itu. Menjadi nahkoda yang lincah, tangguh dan penuh luapan emosi bercinta. Sambo pun menunjukkan kehebatannya, sehingga Madam Ladebra benar-benar tampak sangat bahagia menghadapi ketangguhan pemuda macho itu. Puncak keindahan yang didapatnya ternyata luar biasa dahsyatnya, sampai-sampai Madam Ladebra masih mendesah-desah sendiri, meskipun Sambo telah menambatkan perahu cintanya. Pemuda itu buru-buru berpakaian ala kadarnya. Tidak perlu terlalu rapi seperu semula Ada sesuatu yang membuatnya tergesa-gesa. la berharap Madam Ladebra masih menikmati sisa kenikmatan hingga terkulai lemas atau jatuh pingsan kehabisan tenaga. Karena biasanya wanita yang bercinta dengannya, selalu jatuh pingsan setelah berkali-kali mencapai puncak kemesraan sekalipun sudah ditinggal pergi olehnya. Tapi agaknya kali ini perempuan yang dihadapi bukan perempuan sembarangan. Madam Ladebra ternyata berhasil mengunci kemesraannya sendiri, la sudah bisa bangkit lagi walau dengan napas terengah-engah, sedangkan Sambo belum selesai berpakaian. Perempuan itu menatap Sambo dengan penuh kecurigaan, sementara tas kecilnya yang berisi intan biru sudah diraihnya sejak tadi Sambo jadi salah tingkah, senyumnya pun lebih pantas dikatakan sebagai cengar-cengir tak berujung pangkal. Mata Sambo memang sebentar-sebentar melirik tas kecil itu. la tampak menyembunyikan kekecewaan di balik cengarcengirnya, karena tas kecil ada di tangan Madam Ladebra yang masih seperti bayi baru lahir itu. ''Siapa kau sebenarnya?!" tanya Madam Ladebra dalam kebimbangan. "Maksud Madam bagaimana? Apa Madam belum tahu kalau saya adalah Sambo, yang tadi sama-sama menyaksikan pertandingan bola?" "Ya, aku tahu hal itu. Tapi kau memiliki kemesraan yang luar biasa. Keistimewaan asmaramu tadi sepertinya mengundang kesaktian yang berasal dari aji Galih Cumbu." Sambo tertawa lepas. "Saya malah baru dengar nama aji Galih Cumbu itu. Ajian macam apa itu, Madam?" "Konon, aji Galih Cumbu dapat membuat lawan kencannya selalu merasa masih bercumbu walau sudah ditinggal pergi pasangannya. Dan, ia akan mencapai puncak kemesraan berkali-kali tiada pernah berhenti sebelum si perempuan jatuh pingsan. Sekarang yang kurasakan memang begitu, Sambo. Untung saja aku punya aji 'Redam Rasa', sehingga puncak kemesraanku dapat kuhentikan saat ini. Kalau saja aji 'Redam Rasa'ku tidak kugunakan, maka sampai sekarang aku masih mengejang-ngejang akibat mengalami puncak kenikmatan terus menerus." "Ha, ha, ha, ha. itu omong kosong. Madam. Aku nggak percaya dengan hal-hal tahayul kayak gitu," sambil pemuda itu mendekat. Duduk di ranjang, mencium pipi Madam Ladebra, seakan memberikan keromantisan yang masih tersisa padanya Madam Ladebra membiarkan dicium Sambo, tapi tangan yang memegangi tas kecil itu ditarik agar menjauh dari Sambo. Sikap itu membuat Sambo jadi curiga. "Kenapa begitu, Madam? Memangnya Madam pikir saya mau merampas tas milik Madam itu?" "Aku perlu waspada, karena isi tas ini jauh lebih berharga daripada seluruh isi dunia." "O, ya...?!" Sambo terperangah. "Memangnya isi tas itu apa?" "Kau tak perlu tahu, Sambo." "Sebagai hadiah kebahagiaan yang sudah kuberikan pada Madam, apakah aku tak pantas mengeta hui isinya tas itu? Ternyata Madam bukan wanita yang bijaksana, seperti dugaanku semula " "Hmm, eehh... !! tapi...." "Ayolah, Madam... kasih tahu aku dong, apa isi tas itu sampai dikatakan lebih berharga dari seluruh isi dunia ini. Sekadar ingin tahu saja, masa' nggak boleh sih?" sambil perempuan itu masih diciumi sekeliling wajahnya yang kiri sampai ke sekitar leher. Bujukan demi bujukan akhirnya Madam Ladebra bermaksud tak ingin membuat si cambang tipis yang perkasa itu kecewa dan tak mau diajaknya bercumbu lagi. "Tapi kau harus berjanji padaku, tetap akan sudi melayani kemesraanku kalau sudah kuberitahu isi tas ini? Janji, ya?!" "Okey, saya berjanji deh. Kapan saja Madam inginkan kehangatanku, saat itu juga aku akan memberikannya. Asal aku lagi nggak capek." Madam Ladebra membuka tas kulit berakuran kecil, bertali panjang, dan berwarna coklat muda. Sambo menunggu Madam Ladebra mengeluarkan isi tas itu dengan tangannya masih mencumbu tubuh Madam Ladebra. "Ini namanya intan biru," kata Madam Ladebra sewaktu permata pusaka itu dikeluarkan dari dalam tas kecil. Sambo terbelalak kagum dan menyeringai kegirangan. "Wow...?! Indah sekali permata itu?!" Sambo. berbinarbinar. "Bukan hanya indah. Tapi juga ampuh Bisa menjadi senjata untuk membunuh ribuan orang dalam sekejap." "O, ya...?! Hebat sekali kalau begitu?!" "Tentu saja hebat Semua yang dimiliki Madam Ladebra selalu yang terhebat di dunia," kata perempuan itu membanggakan diri. Tangannya yang memegangi benda biru berkilauan mirip kuncup mawar itu tetap dijauhkan dari jangkauan Sambo: Sementara itu mata Sambo masih memandang dengan berbinar-binar, seakan tak pernah habis rasa kagumnya. "Di mana belinya, Madam?" "Beli? Ooh, pusaka kayak begini kok beli. Mana ada yang jual." , "Lalu, bagaimana Madam bisa mendapatkannya?" "Tak sengaja. Beberapa waktu yang lalu aku dijahati oleh gadis setan yang bernama Kumala Dewi. Lalu, aku bertapa di sebuah pulau, dekat Gunung Krakatau. Maksudku ingin mendapat kekuatan gaib untuk menghancurkan gadis setan itu. Tapi ternyata pulau itu justru hampir saja tenggelam karena kejatuhan sesuatu. Setelah kucari-cari benda yang jatuh itu ternyata intan biru ini. Aku sempat berkelahi melawan roh penunggu pulau itu. Beruntung aku menang dan berhasil membawa pulang benda tersebut. Lalu dalam bisikan gaib yang kuterima sepanjang membawa pulang benda ini, aku mendapat petunjuk tentang cara menggunakan benda ini dan beberapa khasiatnya. Ternyata dahsyat sekali." "Kalau begitu Madam benar-benar orang yang hebat. Bukan hanya hebat di ranjang tapi juga hebat di luar ranjang, he, he, he...." "Kau selalu pandai menyanjungku, Sambo. Hii, hii, hii...." Madam memberikan ciuman di bibir Sambo ketika tangan Sambo merayap ke pangkuannya. Tapi tiba-tiba tangan Sambo yang satunya menyambar benda yang ada di tangan Madam Ladebra. Wuuut...! "Hahh...?! Sambo...?!" Belum habis rasa kaget Madam Ladebra lantaran intan birunya telah disambar Sambo, tahu-tahu ia harus terbelalak lebih kaget lagi, karena saat itu juga Sambo langsung terpental keras. Intan biru jatuh di ranjang, disambar oleh Madam Ladebra kembali. Sementara itu Sambo yang terpental sampai melayang membentur pintu kamar mandi segera jatuh terhempas tanpa ampun lagi. Pada waktu itulah sosok pemuda tampan bercambang tipis berubah wujudnya menjadi mahluk tinggi besar berkulit hitam dan hanya mengenakan cawat dengan bau badan sangat tak sedap. Mahluk itu tak lain adalah sosok Jin Layon yang penyamarannya pudar seketika begitu ia menyentuh pusaka intan biru. "Bangsat! Ternyata kau adalah bangsa jin yang mau memiliki pusaka ini juga, ya? Hmmrrrh...!!" Madam Ladebra melompat turun dari ranjang. Sebelum ia menggunakan intan biru untuk membunuh Jin Layon, sang asisten Kumala Dewi itu sudah berubah bentuk menjadi seberkas sinar kuning. Claaap.... Sinar kuning itu melesat, menembus dinding. Melarikan diri tanpa basa-basi lagi. "Brengsek!" hanya itu suara yang tertinggal di dalam kamar mandi saat kepergian sinar kuning tadi. ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Buron ternyata mendapat tugas untuk mencoba mencuri intan biru dari tangan Madam Ladebra. Tentu saja sebelumnya Kumala telah membekalinya sesuatu, yakni 'lapisan kelambu cakra', supaya kekuatan gaib yang ada dalam diri Jin Layon tidak bisa terdeteksi oleh teropong mistiknya 'orang pintar' mana pun. Karenanya, Madam Ladebra tak sempat mengetahui gelombang energi gaib yang sebenarnya ada dalam diri pemuda samaran Buron tadi. Tapi Madam Ladebra sempat curiga dengan kedahsyatan cumbuan Buron, sebab memang hanya Buronlah yang memiliki aji 'Galih Cumbu' pemberian pamannya: Jin Gantranoya, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "PEMBURU DUKUN SANTET"). Namun agaknya Buron sendiri tidak menduga bahwa pusaka batu intan biru itu mempunyai pantangan, yaitu tidak bisa dipegang oleh bangsa jin. Bangsa siluman masih memungkinkan untuk memegang batu itu, tapi bangsa jin tidak bisa memegangnya. Dengan sedikit sentuhan saja, jin mana pun akan terlempar jauh-jauh dan tak mungkin bisa mendeteksi intan biru itu. Mau tak mau Jin Layon lari secepat kilat, karena memang demikianlah pesan Kumala sebelum Buron menunaikan tugas. "Kalau terjadi sesuatu, lebih baik lekas kabur. Jangan melawan perempuan itu selama dia masih memegang intan biru!" begitu pesan Kumala yang tak berani dilanggar oleh Jin Layon. Maka ketika Buron kembali menghadap Dewi Ular di rumah, kegagalannya dilaporkan, dan Kumala tidak marah. Gadis itu sangat memaklumi keterbatasan Buron dalam mendapatkan intan biru. Sementara itu, Buron justru tertunduk sedih dan punya rasa takut atas kegagalannya, la juga malu, karena saat itu di samping Kumala ada Sandhi, Pramuda, Emafie dan. Rayo Pasca. "Aku ingin kembali ke alamku dan hidup bersama ibuku saja," katanya dengan nada sedih. Kumala Dewi menepuknepuk pundak Buron. "Jangan merasa bersalah. Siapa pun memiliki kemampuan pasti punya keterbatasan. Jangan memaksakan kemampuanmu. Aku sendiri justru merasa bersyukur karena kau bisa kembali dengan selamat, Buron. Seandainya kamu tidak ingat pesanku, mungkin kamu sudah hancur di tangan perempuan Gipsy itu." "Tapi aku sendiri sangat kecewa, Kumala. Sebab... sebenarnya batu itu sudah berhasil kuram-pas darinya." "Artinya, kau sebenarnya sudah berhasil. Hanya saja, karena memang kodratmu adalah jin, maka tak dapat menyentuh batu itu. Jadi letak kegagalan ini bukan karena kesalahanmu." "Berarti cuma satu andalan yang harus kita pakai," kata Sandhi kepada Pramuda, tapi sasarannya sengaja untuk Kumala Dewi. "Dewi Angora itu, maksudmu?" "Ya, kurasa cuma dia yang memegang kunci keberhasilan kasus ini. Dewi Angoralah yang mengetahui rahasianya." Kumala berkata, entah ditujukan kepada siapa, karena ia sendiri bicara sambil duduk bersebelahan dengan Rayo Pasca. "Angora belum bisa diganggu. Dia masih melakukan 'semedi nista' bersama Alvan." Rayo Pasca yang baru datang dari Yogyakarta tadi sore itu kini ikut bersuara, walau hanya pelan dan bersifat pribadi kepada Kumala Dewi. "Apa yang dimaksud 'semedi nista' itu?" "Memalukan kalau dijelaskan di depan umum," balas Kumala dalam bisikan. "Aku sendiri baru tahu kemarin, ketika kucoba meneropongnya lewat jalur gaib. Aku terkejut melihat cara semedinya yang sudah berjalan tiga hari ini." Dering telepon berbunyi. Sandhi yang mewakili Kumala untuk menerima telepon. Ternyata berasai dari Sersan Burhan. Telepon segera diserahkan kepada Kumala. "Ya, kenapa Bang Sersan? Bagaimana...?" Hening sesaat. Kurhala mendengarkan suara Sersan Burhan. Lalu, wajah cantiknya mulai tampak berubah sedikit tegang. Dahinya berkerut menandakan keseriusannya dalam menerima kabar dari Sersan Burhan itu. "Alzon...? Maksudnya, Alzon Bingar, begitu?" Hening lagi. Sandhi dan Buron saling beradu pandang. Mereka kenal nama Alzon Bingar; pacarnya Delvina yang menjabat sebagai Executive Vice President di sebuah bank. Pria ganteng itu pernah juga bertemu dengan ibunya Kumala, Dewi Nagadini, yang kala itu sedang turun ke bumi karena pusaka suaminya hilang, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "PENGHANCUR IBLIS"). Raut wajah cantik jelita yang mengagumkan itu dibayangbayangi warna duka setelah Kumala meletakkan gagang telepon. Semua menduga pasti ada kabar buruk yang diterimanya. Semua ingin tahu penjelasan kabar tersebut. Namun, Kumala justru diam tertegun bagaikan terjerat kesedihan. "Ada apa dengan Alzon 'Bingar, Kumala?" tanya Sandhi hati-hati. "Dia menjadi korban Elsyana." "Hahh...?! Perempuan dari alam kubur itu?!" sentak Pramuda. Kumala hanya mengangguk sedih. Buron mohon pamit untuk mengejar Elsyana yang telah memakan empat korban selama Kumala sibuk menyelesaikan kasus intan biru itu. Tapi Kumala melarang Buron, mengejarnya. Hati mereka bertanyatanya, mengapa Kumala melarang? (Oo-dwkz-234-oO) 7 MALAM itu juga mereka bergegas ke lokasi kejadian, Alzon Bingar yang terjerat daya pikat Elsyana ditemukan tewas dalam kamar hotel. Hotel itu adalah hotel tempat Buron dan Madam Ladebra bercinta dalam misi mautnya. Itulah sebabnya Kumala melarang Buron mengejar Elsyana, karena dikhawatirkan akan bertemu dengan Madam Ladebra yang kemungkinan besar masih berada di hotel itu Bahkan Pramuda sendiri juga menyarankan agar Kumala tak perlu hadir di hotel tersebut. Tapi gadis itu punya perhitungan tersendiri jika harus bertemu muka dengan Madam Ladebra. Ternyata Madam Ladebra sudah check-out, menurut keterangan pihak resepsionis hotel. Namun mengenai wanita cantik bernama Elsyana itu tidak diketahui oleh pihak hotel. Dua orang roomboy dan seorang resepsionis mengatakan, Alzon Bingar masuk ke hotel itu bersama seorang gadis cantik yang ciri-cirinya tidak mirip Elsyana.Setelah membayangkan kehadiran Alzon di kamar, itu melalui kekuatan batinnya, Kumala, seperti melihat sebuah film tentang keberadaan Alzon di kamar itu. "Delvina," ucapnya tegas begitu membuka matanya yang habis terpejam tadi, "Dia datang bersama Delvina. Tapi ternyata Delvina itu adalah. Delvina palsu. Jelmaan dari Elsyana." "Berarti Alzon terjebak seperti halnya korban yang bernama Franky itu?'' tanya Emafie, dan Kumala mengangguk membenarkan. Buron menjelajahi seluruh kamar dan tempat-tempat lainnya yang masih termasuk wilayah Sere-na Hotel. Ternyata ia tidak menemukan sosok wanita berkekuatan mistik. Kesimpulan yang ada mengatakan bahwa Elsyana pun telah pergi dari hotel tersebut. "Mungkin sudah bertemu dengan Madam Ladebra. Sebab, menurut Angora, silat dari mayat yang bangkit dan hidup kembali menggunakan Qolbu curian itu akan bergerak mendekati batu intan biru. Karena batu itulah yang dapat membuat kehidupannya yang kedua menjadi sempurna. Dan dia akan menjadi manusia super. Kebal senjata, kebal santet, punya kekuatan batin tinggi, dan tak akan pernah mati selama-lamanya." Rayo Pasca manggut-manggut mendengar keterangan Kumala Dewi. la pun mempunyai kesimpulan sendiri yang segera dikatakannya di depan Pramuda, Ernafie, Sersan Burhan dan yang lainnya. "Kalau sampai Elsyana berhasil disempurnakan oleh Madam Ladebra, berarti dia akan bersekutu dengan Madam Ladebra. Dan... dukun keturunan Gipsy itu akan semakin kuat, sulit dikalahkan siapa saja." "Karena dia akan menggunakan Elsyana sebagai bumper, sedangkan ia bisa berlindung di belakang Elsyana. Mengendalikan wanita dari alam kubur itu sekehendak hatinya," sahut Pramuda membenarkan kesimpulan Rayo tadi. "Kau harus lebih hati-hati lagi, Lala," bisik Rayo bernada cemas, namun memiliki nuansa keromantisan yang indah diresapi hati Kumala. Hanya saja, karena mereka sedang berada di depan mayat Alzon Bingar yang kehilangan seluruh organ tubuhnya, maka keindahan hati itu pun disimpannya di satu sudut, untuk diresapi kembali setelah berada di suasana yang berbeda. Kumala segera sibuk menenangkan tangis Delvina, ketika gadis itu datang ke lokasi kejadian setelah menerima telepon dari Sersan Burhan tadi. Meskipun sudah pukul 11 malam lewat, tapi mereka tetap pergi ke rumah duka, mengantar mayat Alzon sambil mendampingi Delvina. Pada kesempatan itu Kumala sempat membuka radar gaibnya untuk memantau aktivitas Madam Ladebra. Dikhawatirkan perempuan itu akan bikin ulah maut yang mengorbankan orang-orang tak berdosa sebagai pelampiasan kemarahannya kepada Buron tadi. Radar gaib itu hanya bisa menangkap adanya firasat buruk terhadap kehidupan malam kota Jakarta. Firasat itu sulit diterjemahkan, sehingga tak mampu dibeberkan kepada mereka yang mendampingi Kumala. "Yang jelas, perempuan itu akan melakukan sesuatu yang merugikan orang banyak. Entah kapan dan di mana tempatnya. Tindakannya itu semata-mata ditujukan untuk memancing kemarahanku, untuk melampiaskan kedongkolan hatinya yang hampir tertipu oleh Buron, juga untuk menunjukkan kepada dunia tentang kekuatan magisnya." "Show of force?" sahut Rayo. "Ya,dia akan pamer kekuatan dalam waktu dekat Ini." Tiba-tiba Buron berkata kepada Kumala, "Aku butuh boneka." "Untuk apa?" Sandhi menyahut hei Buron tertegun bagaikan orang melamranya datar dan terkesan sangat serius. "Malam ini juga aku butuh boneka, kalau bisa terbuat dari jerami." Lalu ia menghela napas panjang-panjang Kumala Dewi sengaja menatap nya. Tanpa diminta Buron menjelaskan maksudnya. "Aku akan menahan perempuan itu supaya tidak sempat berbuat yang membahayakan masyarakat umum. Aku butuh tempat khusus." "Mungkin kau bisa memakai kamar depan." kata Kumala. "Bisa. Tapi boneka itu harus kudapatkan sekarang juga." "Jika bukan dari jerami ? Sulit mendapatkan jerami di kota besar seperti Jakarta ini, bukan?" "Bisa dibuat dari sekumpulan daun pandan." "Kubantu mendapatkannya," sahut Rayo. "Temanku punya rumah di daerah Parung. Di belakang rumahnya banyak tumbuh daun pandan." "Kita berdua ke sana sekarang juga. Bisa?" "Jelaskan dulu maksudmu," desak Rayo yang merasa sangat ingin tahu. Sebab, baginya adalah hal yang aneh dan lucu jika jelmaan Jin Layon membutuhkan sebuah boneka. "Membangkitkan ajianku yang sudah merasuk dalam dirinya, tapi sempat berhasil dilumpuhkan. Melalui boneka itu aku dapat mengendalikan aji Galih Cumbu dari jarak jauh, sehingga perempuan Itu akan sibuk menikmatinya, dan tak akan sempat bertindak yang bukan-bukan Kalau toh dia berhasil melumpuhkannya, aku akan membangkitkan kembali. Begitu seterusnya. Maka tak ada kesempatan baginya untuk menyempurnakan Elsyana, seandainya wanita dari alam kubur itu benar-benar sudah bersamanya sejak saat ini." Kumala tersenyum kecil. "Bukan jelmaan Jin Layon kalau Buron tak punya akal gila seperti itu," sanjungnya dalam canda samar-samar. Pada dasarnya Kumala sangat mendukung rencana Buron dan salut dengan gagasan yang kali ini dianggap sangat tepat, sebagai satu-satunya solusi buat mencegah tindakan kejinya Madam Ladebra. Prinsip kerjanya adalah mengalihkan perhatian Madam Ladebra dan membuat perempuan itu sibuk dengan masalah lain, sehingga tak memiliki kesempatan untuk menggunakan batu intan biru. Dengan menggunakan mobil Rayo, Buron diantar mencari daun pandan, la berhasil mendapatkan daun-daun pandan dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan gerakan cepat, ia membentuk daun pandan menjadi bergepok-gepok. Lalu disatukan dan dibentuk menjadi sebuah boneka sebesar manusia dewasa. Ukurannya hampir sama dengan tinggi badan Madam Ladebra. Tetapi kali ini boneka pandan itu dibaringkan, di atas lantai dalam kamar tidur tamu yang ada di ruang depan rumah Kumala Dewi. Buron mengunci pintu kamar itu. Lampu dipadamkan. Hanya lampu tidur yang berselubung kap warna cream yang menyala. Setelah menyalakan tempat pembakaran dupa, Buron menaburkan madat kelas satu di atas bara api. Aroma madat wewangi seluruh ruangan. Kemudian ia segera melepas seluruh pakaiannya. Duduk bersila di samping boneka pandan itu. Melakukan meditasi beberapa saat Kesaktiannya sebagai jin mulai bekerja. Terbukti boneka pandan itu mulai memancarkan cahaya kuning berpendar-pendar seperti fosfor. Seandainya ada yang mengintai ke dalam kamar itu, mungkin orang tersebut akan tertawa dan menganggap Buron sudah tidak.waras lagi. Sebab langkah selanjutnya yang dilakukan Buron adalah mencumbu boneka pandan itu sebagaimana ia bercinta dengan Madam Ladebra. Boneka pandan tetap memancarkan cahaya kuning pijar. Sekalipun Buron sudah berhenti dan duduk bersila kembali, tapi boneka itu tetap memancarkan cahaya kuning berpendar-pendar, kadang terang kadang redup. Rupanya malam itu Madam Ladebra memang sudah bertemu dengan Elsyana. la membawa pulang Elsyana setelah mengetahui perempuan tersebut, adalah mayat yang hidup kembali dan butuh penyempurnaan. Dengan suatu perjanjian bahwa Elsyana akan mengabdi selamanya kepada Madam Ladebra, si dukun bermata mesum itu akhirnya bersedia menyempurnakan kehidupan keduanya Elsyana, Untuk itulah ia membawa Elsyana pulang ke rumahnya. Elsyana dibawa ke ruang bawah tanah. Ruangan rahasia yang ada di rumah kuno peninggalan Belanda itu memang sengaja disiapkan untuk kegiatan-kegiatan sakralnya. Di ruangan tersebut terdapat perangkat upacara ritual termasuk Wneja panjang, altar, ranjang batu marmer dan yang lainnya. Keadaannya sangat kotor, berdebu dan lembab Namun sebagai mayat yang hidup kembali, Elsyana tidak punya rasa ngeri atau jijik berada di tempat pengab tersebut. Ia menuruti perintah Madam Ladebra untuk melepas pakaian dan berbaring di ranjang marmer setinggi satu meter itu. Namun sebelum Madam Ladebra menggunakan intan birunya, hatinya mulai gelisah dan resah, karena merasakan adanya getaran indah yang membangkitkan hasrat bercumbunya. Semakin dibiarkan semakin jelas rasa nikmat yang menggelitik pusat kepekaan cintanya, la duduk bersimpuh di samping ranjang marmer. Mendesah-desah sambil kebingungan memposisikan dirinya. Terbayang pula ketika dirinya bercumbu dengan pemuda bercambang tipis yang macho dan mengaku bernama Sambo itu. Akhirnya, Madam Ladebra terkapar di lantai. Madam Ladebra menggelinjang sendirian ke sana-sini, membuat Elsyana bangkit dan memandanginya dengan terheran-heran. Setiap kali,. Madam Ladebra memekik panjang, setiap kali pula tubuhnya mengejang dan membuat Elsyana menjadi bergairah sendiri, sebab ia tahu saat itu adalah saat Madam Ladebra mencapai puncak kemesraan. "Ouuhh, cepat kemari... cepat peluk akuuu...!" panggil Madam Ladebra kepada Elsyana. Wanita dari alam kubur itu akhirnya memeluk Madam Ladebra. Ia bertindak sebagai seorang lelaki yang sedang memenuhi hasrat gairah Madam Ladebra. Maka, tak ayal lagi, mereka pun saling bercumbu, sebagai sarana bagi Madam Ladebra dalam menikmati amukan gairahnya. Puncak kemesraan diraihnya berkali-kali. Pada saat seperti itu boneka pandan memancarkan cahaya kuning terang. Lalu redup lagi sebagai tanda bahwa Madam Ladebra sedang mengalami penurunan puncak asmara. Dan setiap kali boneka itu semakin redup, Buron buru-buru mencumbunya, serta menggaulinya, seperti sedang bercinta dengan Madam Ladebra. Akibat pengulangan yang dilakukan Buron itulah maka Madam Ladebra tak sempat melumpuhkan kekuatan aji 'Galih Cumbu' dengan aji 'Redam Rasa'. Setiap kali ia menggunakan aji 'Redam Rasa' yang membuat hasrat bercintanya tertutup, Buron selalu mendobraknya kembali dengan kekuatan "Galih Cumbu"nya dengan cara mengencani boneka pandan itu. "Oooh,. dia datang lagiii...!" rintih Madam Ladebra ketika Buron menjebolkan 'Redam Rasa'-nya. la berusaha mengunci tapi tak berhasil. Maka gairahnya pun berkobar-kobar kembali. "Dekap aku, Elsya... dekap aku lagi... oouuhh, yaahhh...!" Begitu dan begitu seterusnya sepanjang Buron masih setia menjaga agar cahaya kuning pijar jangan sampai padam dari boneka pandan tersebut. Akibat serangan aji 'Galih Cumbu' secara terus menerus, Madam Ladebra benar-benar tidak punya kesempatan untuk memanfaatkan batu intan biru. Ia selalu menggunakan EIsyana sebagai sarana kemesraan yang nyata dalam penglihatannya. Namun ketika hari sudah siang dan Madam Ladebra masih bertahan untuk menikmati kemesraan itu, EIsyana menjadi sangat bosan dengan tugasnya, sebab Madam Ladebra hanya sesekali membantunya mencapai puncak kemesraan. "Peluk aku dari belakang, Elsya. Lekas kemari, peluk aku...." "Tidak, Aku tidak mau lagi, Madam. Aku tidak mendapat apa-apa darimu. Kecuali jika kau mau menyempurnakan hidupku sekarang juga, maka akan kulayani gairahmu sampai kapan pun." "Nanti akan kusempurnakan. Tapi, ooh, ooohhh... lekas peluk aku. Aku ingin terbang lagi, Elsya...." "Tidak mau. Tidak ..!" Elsyana cemberut kesal dan bergegas mengenakan pakaiannya "Elsyanaaa... cepat kemah, oouuhhhh...!!" Suara Madam Ladebra menjadi tinggi. Elsyana tidak peduli, la ingin pergi dengan hati kecewa dan muak terhadap perlakuan Madam Ladebra. Sementara itu emosi Madam Ladebra semakin bercampur aduk, antara jengkel, gemas, nikmat dan tak sabar untuk mendapatkan tempat berpeluk. Ia mencoba bangkit, namun terbungkuk-bungkuk menahan le dakan puncak kemesraannya, la meraih Elsyana, tapi Elsyana justru menghindar. Madam Ladebra merasa terganggu kenikmatan cumbuannya, ke marahan pun meluap-luap. Maka, ia segera meraih tas kecil, mengambil batu intan biru. Kemudian, intan biru yang mirip kuncup mawar itu diarahkan kepada Elsyana Napasnya ditahan, kekuatan gaib nya dialihkan ke tangan. Dan, kuncup mawar dari batu intan biru itu mulai mekar. Craaallppp...! Sinar biru membias lebar. Elsyana terkena bias cahaya itu. la terpekik pendek dan sangat lirih. Tubuhnya menjadi kaku. Ketika Madam Ladebra melepaskan napasnya, sinar biru itu lenyap, benda yang mirip kuncup mawar itu tertutup kembali. Dan, saat itulah Elsyana mengalami kematiannya yang kedua. Menjadi patung, arang dalam posisi tegak, wajah tersentak, mata terbelalak. "Kau memang boodoh, Elsya...!" Madam Ladebra mengamuk, melemparkan bangku kayu. Patung arang itu hancur berantakan akibat terkena lemparan bangku kayu. Tapi napas Madam Ladebra masih terengahengah jalannya sempoyongan, la mencari tempat untuk; dapat mengatasi desiran rasa nikmat yang masih mengalir deras di sekujur tubuhnya. Menjelang tengah hari boneka pandan itu padam. Nyala sinarnya tak terlihat lagi. Buron menghembuskan napas panjang, la merasa lega, karena padamnya cahaya dalam boneka menandakan bahwa Madam Ladebra telah jatuh pingsan akibat kehabisan tenaga, setelah mencapai puncak kemesraan berkali-kali. Menurut Buron, dukun jalang itu tergolong wanita yang tangguh, alot dan sangat kuat Jika wanita biasa mengalami hal seperti itu, sudah sejak tadi akan jatuh pingsan, sebelum malam mendekati pagi. "Luar biasa ketangguhannya," kata Buron kepada Kumala ketikta ia keluar dari kamar itu dan tetap menguncinya, sebab sewaktu-waktu ia akan masuk ke kamar tersebut untuk mengetahui keadaan Madam Ladebra lewat boneka pandannya. Jika boneka itu mulai menyala lagi, berarti Madam Ladebra sudah siuman Buron akan mengirimkan kembali ajian 'Galih Cumbu', supaya perempuan jalang itu tidak punya waktu untuk keluar rumah dan memanfaatkan batu intan birunya untuk menyebarkan kematian. "Kalau bukan dia mungkin sudah mati karena kehabisan cairan dan darah," sambung Buron. "Sekarang dia dalam keadaan pingsan. Apa yang harus kita lakukan, Kumala?" "Kau mengetahui tempat tinggalnya?" "Kalau kesaktianmu saja sulit melacak, apalagi kesaktianku. Kurasa karena intan biru itu ada padanya, jadi dia sulit diketahui posisinya, Kumala." "Tapi kau bisa menemuinya di stadion Senayan, kan?" "Waktu itu aku memang bermaksud nonton bola, sebelum mencoba berputar-putar mencari yang bernama Ladebra. Kebetulan saja kurasakan ada getaran aneh di atas tribun, lalu aku mencoba mencarinya, dan ternyata dia ada di sana." Hari itu Kumala memang masih libur. Kantornya belum buka, terutama sejak peristiwa kedatangan Madam Ladebra tempo hari. Kumala sendiri menyarankan kepada Pramuda agar tidak melakukan aktivitas kerja dulu sebelum ia berhasil melumpuhkan Madam Ladebra atau merebut batu intan biru itu. "Aku akan menemui Rosita Verra," kata Kumala. "Akan kudesak gadis itu agar menunjukkan di mana rumah Madam Ladebra, supaya aku bisa menemuinya saat ia kau buat pingsan lagi, dan akan kurampas batu permata milik paman Dewa Wanandra itu. Kalau Verra tidak mau memberikan alamat rumahnya, akan kuserap memory dalam ingatannya." "Percuma," sahut Sandhi yang baru saja pulang dari kios rokok. Ia bicara sambil membuka bungkus rokoknya. "Kamu nggak akan rhendapatkan apa-apa dari rencanamu itu." "Memangnya kenapa?" "Apa kamu belum dengar kabar bahwa Rosua Verra sejak kegagalannya menjadi pengikut Madam, dan sejak ia menderita kekecewaan sangat besar atas perkawinan Pram dengan Emafie, ia pun mengalami gangguan jiwa? Sudah nggak normal lagi, alias gila." "Oh, jadi... Verra sekarang sudah gila?!" "Ya. Dan menurut keterangan Niko, Verra dikirim ke Amerika oleh papanya. Selain untuk menjalani pengobatan, juga untuk menutup aib di antara keluarganya." Telepon berdering. Kumala sendiri yang mengangkatnya karena posisinya paling dekat dengan meja telepon. Ternyata telepon itu datang dari Dewi Angora. "Angora... ?! Bagaimana keadaanmu?" Suara Dewi Angora terdengar serak dan terengah-engah seperti habis berlari jauh. 'Tolong datang... bantu aku.... Sekarang juga. Dewi Ular...." "Ya, ya... aku akan segera ke rumahmu.Tapi, apa yang terjadi pada dirimu, Angora?" "Nanti saja kujelaskannya, sekarang... lekas datang, bantu aku menyelamatkan Alvan ... Oooh. tolong selamatkan Alvan, Kumala...." Entah apa yang terjadi pada diri Alvan, yang jelas Kumala Dewi segera meluncur bersama San-dhi, sementara Buron menunggui boneka pandannya dalam kamar khusus. Di sisi lain, Kumala dan Sandhi merasa lega, karena Angora sudah meneleponnya, berarti masa melakukan 'semedi nista' telah usai. Tapi di sisi lain mereka sempat merasa cemas terhadap keadaan Alvan yang tampaknya dalam bahaya. Dewi Angora tidak bisa melakukan tindakan penyelamatan atau penyembuhan, karena ia masih dalam masa menjalani hukuman nista. Karena itulah jika terjadi sesuatu ia selalu meminta bantuan Dewi Ular. Sekalipun Dewa Pralaya menyarankan agar Kumala tidak ikut campur dalam kasus hilangnya intan biru itu, yang merupakan persoalan keluarga Dewa Wanandra, namun nilai persahabatannya dengan Dewi Angora membuat Dewi Ular tak tega membiarkan Angora bersusah payah sendiri. Sebab, dulu Angora banyak membantunya ketika Kumala menghadapi kesulitan dalam kasus badai halilintar. Sandhi tidak diizinkan masuk ke rumah Alvan. Kumala sudah mulai bisa mengetahui apa yang terjadi di rumah itu, sehingga ia menyuruh Sandhi menunggu di teras. Apa yang terjadi di dalam rumah itu akan sangat memalukan jika sampai diketahui oleh Sandhi atau orang lain yang tidak bisa memahami situasi dan kondisi Dewi Angora. Kumala sendiri sebenarnya sungkan untuk masuk ke kamar tidur mereka, tapi keadaan sangat memaksa dan Kumala harus segera melakukan suatu tindakan demi menyelamatkan Alvan. Mahasiswa tampan berwajah imut-imut itu dalam keadaan tak berdaya sedikit pun. Sekujur tubuhnya tampak hijau kebiru-biruan. Seperti tanpa darah lagi. Lebih mirip sesosok mayat yang siap dimandikan. Napasnya juga sudah tak ada. Tapi menurut Dewi Arigora, pemuda itu masih memiliki denyut nadi yang sangat lemah. Masih memungkinkan untuk diselamatkan. Mereka berada di atas ranjang dalam keadaan masih samasama tanpa selembar benang pun. Hal yang menyedihkan adalah posisi Alvan masih tertelungkup di atas Dewi Angora. Ia terkunci oleh kemesraan Dewi Angora, sehingga tak bisa melepaskan diri Dewi Angora sudah berusaha sejak subuh tadi agar Alvan terlepas dari tubuhnya. Tapi rupanya usaha itu selalu gagal. "Waktu aku menghentikan 'semedi nista'-ku karena sudah mendapat petunjuk gaib, dia masih belum pingsan. Kami sama-sama berusaha melepaskan diri, tapi tak berhasil. Akhirnya ia kehabisan tenaga, atau kehilangan energi kehidupan terlalu banyak, sehingga terpuruk begini di atasku," tutur Dewi Angora sambil menangis. Pada mulanya Dewi Angora tak ingin meminta bantuan siapapun. Tapi setelah seluruh kekuatannya dikerahkan dan Alvan masih belum bisa dipisahkan dari tubuhnya, terpaksa ia menggunakan kekuatan batinnya. Menatap telepon yang jauh dari jangkauannya dan menggunakan saluran telepon untuk bicara dengan Kumala lewat kekuatan supranaturalnya. Barangkali Alvan memang kehabisan tenaga manusiawinya, karena berhari-hari mendayung perahu cinta tanpa kenal lelah. Selama semedi itu masih belum diakhiri Angora, Alvan tetap mendayung perahu cintanya, menciptakan desir-desir kenikmatan dalam diri Angora, tanpa menyadari hari sudah berganti hari. Akibatnya ia benar kehabisan tenaga. Nyaris mati. Namun menurut dugaan Kumala, mungkin saja bisikan naib yang didapatkan Dewi Angora meminta tumbal nyawa, yaitu nyawa Alvan sendiri, sebagai pasangan Angora dalam 'semedi nista'-nya itu. O leh karenanya, Kumala harus menembus alam dimensi lain mencari tahu penyebab sebenarnya adalah kutukan yang harus diterima Alvan, karena Alvan membantu Angora melakukan 'semedi^nista' yang memalukan para dewa di Kahyangan, maka Dewi Ular pun melakukan dialog dengan Dewa Murkajagat, kakeknya sendiri. Perdebatan yang berlangsung secara gaib dalam waktu sekitar setengah jam itu akhirnya dimenangkan oleh Dewi Ular. Maka dengan kesaktian yang disalurkan melalui telapak tangannya, Kumala berhasil melepaskan Alvan dari pengunci asmaranya Angora. Pemuda itu akhirnya mudah disingkirkan oleh Angora dari atasnya, dan dibaringkan dalam keadaan masih belum bernapas. "Denyut nadinya semakin lemah, Kumala. Tolonglah dia...!" ratap Angora dengan tangis menyedihkan. Akhirnya, kesaktian Dewi Ular digunakan lagi untuk memulihkan energi kehidupan Alvan, sehingga dalam waktu kurang dari 10 menit pemuda itu sudah bisa bernapas. Siuman dari mati surinya. Kemudian tubuh pucatnya mulai tampak segar kembali. "Bersihkan tubuh kalian secepatnya! Kutunggu di teras!" tegas Kumala Dewi, lalu segera meninggalkan mereka yang masih sama-sama saling peluk dalam tangis keharuan, sebab pada akhirnya mereka sama-sama selamat dari kutukan tersebut. Menjelang pukul lima sore Angora dan Alvan sama-sama telah siap menerima tamu. Kumala dan Sandhi sempat pergi ke supermarket terdekat untuk berbelanja kebutuhan seharihari, lalu mereka kembali lagi ke rumah Alvan. Pada waktu itu Buron menelepon Kumala melalui HP-nya. "Aku kecurian peluang, Kumala!" "Apa maksudmu?!" "Saat aku keluar dari kamar, sekitar pukul dua siang tadi, ternyata Madam Ladebra di sana sudah sehat kembali. Aku tidak melihat boneka pandanku menyala redup. Rupanya kesempatan itu ia guna kan untuk menggunakan batu intan biru." "Artinya?" "Boneka pandanku terbakar hangus. Aji 'Galih Cumbu' tak bisa kukirimkan lagi padanya. Kini perempuan itu pasti sedang mencariku dengan kekuatan yang telah pulih, bahkan dilapisi kesaktian batu intan biru itu." "Dari mana kau, tahu kalau dia sedang mencarimu?" "Hmm, eehh, hmmm...," Buron tampak sulit menjelaskannya. Kumala menjadi penasaran dan mendesaknya dengan hati-hati. "Katakan, apa yang terjadi pada dirimu sebenarnya, Buron?" "Hmm, tapi.. tapi maaf, bukan aku bermaksud tak sopan padamu, Kumala. Tapi karena... karena...." "Ya, katakan saja, apa?!" "Hmmm... 'burungku' hilang, Kumala. Dia berhasil mencurinya untuk melacak keberadaanku saat ini." "Apa...?! Bu... hilang?!" Kumala tak tega melanjutkan ucapannya. Tapi ia menangkap arti sebenarnya, la juga mengetahui akan datangnya bahaya yang dapat mengancam jiwa Buron. Sebab, 'burung' seseorang yang berhasil dicuri memang bisa digunakan untuk mengetahui di mana orang tersebut berada. Hanya dukun-dukun berilmu hitamlah yang bisa dan tega menggunakan 'burung' lawannya sebagai pemandu pelacakannya. Ke mana pun Buron bersembunyi pasti akan diketahui, sebab 'burung' itulah yang akan menunjukkan di mana 'tuannya' berada. Dewi Angora ikut tegang ketika mendengar keterangan Kumala di sore itu. la sangat kasihan kepada Buron jika sampai jelmaan Jin Layon itu menjadi korban penyalahgunaan pusaka intan biru. Maka ia sendiri yang segera punya inisiatif untuk secepatnya memberi perlindungan kepada jelmaan Jin Layon. "Ambil dia, dan letakkan dalam ruangan berdinding cermin!" kata Angora. "Dalam ruangan yang dikelilingi cermin, Madam Ladebra akan berpikir seribu kali jika mau menggunakan intan biru, sebab dia pasti takut cahayanya membias dan memantul mengenai dirinya juga." "Ruangan berdinding cermin?!" gumam Kumaia Dewi. la tertegun memikirkan tempat itu, demikian pula halnya dengan Sandhi. Sesaat kemudian Kumala menemukan tempat yang dibutuhkan setelah kekuatan batinnya meneropong cepat tempat-tempat yang pernah disinggahinya. "Dia harus dibawa ke sanggar senamnya Tante Molly Di sana seluruh dindingnya dilapisi cermin Aku pernah masuk ke sana!" "Di mana letaknya?" "Mollyta Hotel lantai dua. Letaknya di tepi pantai." "Sekarang pergilah ke sana, bawa Buron dan tempatkan dia dalam ruangan itu. Aku akan mencari potongan pusar bayi kembar." "Untuk apa?!" sela Sandhi yang merasa heran "Petunjuk gaib yang kudapatkan dalam semediku mengatakan bahwa potongan pusar bayi kembar adalah benda yang memiliki kesaktian tersembunyi. Kesaktian itu akan keluar dengan sendirinya jika berhadapan dengan batu intan biru milik ayahku. Sebab di dalam potongan pusar bayi kembar itulah ibuku dulu bersembunyi dari ancaman iblis dan diselamatkan oleh ayahku!" Dapat dipahami oleh Kumala, bahwa penangkal kekuatan intan biru adalah pusar bayi. Ibunya Dewi Angora, yaitu Dewi Garbani adalah penguasa rahim dan kesuburan kaum wanita. Jika kedua kesaktian dari dua benda itu bertemu, maka yang terjadi adalah kedamaian yang agung. Intan biru mewakili jiwa Dewa Wanandra, sedangkan pusar bayi mewakili Dewi Garbani. Persoalannya sekarang adalah, bagaimana cara Angora mendapatkan potongan pusar bayi kembar? Benda itu sangat sulit didapatkan karena langkanya bayi lahir kembar. "Jangan hiraukan aku. Biar" aku berusaha sendiri bersama Alvan. Sekarang, selamatkan dulu si Buron dari pengejaran dukun jalang itu!" kata Dewi Angora, dan Dewi Ular pun tak mau banyak bicara lagi. la segera melesat menemui Buron, tanpa menggunakan BMW kuningnya Mobil itu dibawa Sandhi langsung ke Mollyta Hotel, sementara Kumala menggunakan kesaktiannya yang berubah menjadi sinar hijau kecil seperti naga terbang, melesai cepat menembus benda apa pun tanpa suara dan getaran yang mengganggu pihak lain. Menjelang maghrib Buron sudah berada di Mollyta Hotel bersama Kumala. Kehadiran mereka bertepatan dengan datangnya Tante Molly yang sebelumnya sudah diberitahu oleh Sandhi lewat HP nya Kumala. Menyadari Buron dalam bahaya, sedangkan Tante Molly sampai sekarang masih menyimpan perasaan kagum kepada kehangatan asmara Buron, maka janda kaya pengusaha perhotelan itu memberi kesempatan sebesar-besarnya untuk upaya tersebut, la pun berniat membantu Buron dan Kumala yang sudah dianggap seperti saudara sendiri itu, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "TUMBAL CEMBURU BUTA"). "Jangan katakan kepada Tante Molly kalau aku kehilangan 'burung' dan...," kata-kata itu terputus karena Kumala menyahutnya dengan suara mendesis, mengingatkan Buron agar tidak bicara keras-keras, sebab mereka sudah berada di lobby hotel. "Ssst...! Jaga mulutmu sendiri, jangan mencemaskan mulut orang lain! Apa pun masalahnya, aku tetap akan ikut malu kalau orang lain mengetahui bahwa kau tak punya malu lagi." "Bukan tak punya malu, tapi tak punya ke...." "Ssst...!" Kumala menghardik sambil menahan senyum gelinya. Tante Molly bergegas mendekati mereka, "Tunggu sebentar, masih ada kelas sore di ruang senam sana. Mereka break pukul enam. Lima belas menit lagi. Bisa kan?" "Okey, nggak apa-apa," jawab Kumala tanpa ketegangan sedikit pun, sehingga Tante Molly tak menaruh kecurigaan atas permasalahan yang dihadapi Buron dan Kumala. Petang mulai datang? Langit gelap karena mendung mulai bertebaran di mana-mana. Kecemasan membayangi Buron, karena waktu itu ternyata kelas senam belum selesai. Kumala tetap mendampingi jelmaan. Jin Layon bersama Tante Molly di ruang kerjanya si janda kaya itu. Beberapa saat kemudian. Sandhi datang sambil menyerahkan handphone milik Kumala yang tadi dititipkan padanya. Pukul tujuh kurang, aktivitas senam telah selesai. Ruangan menjadi kosong. Sandhi, Kumala, Buron dan Tante Molly segera memasuki ruangan tersebut Seluruh dinding dilapisi kaca yang membuat ruangan itu menjadi tampak lebar dan lega. Di mana-mana terlihat wajah-wajah mereka, seperti dalam jumlah banyak. Buron yang diliputi ketegangan sebentar sebentar memandang ke arah kanan-kirinya, karena merasa seperti diikuti seseorang Padahal yang ia temukan adalah pantulan dirinya dalam cermin tersebut. Terdengar suara gemuruh guntur di kejauhan. Suara itu hanya samar-samar, karena ruangan senam semi kedap suara. Ketika Sandhi membuka pintu ingin keluar dari ruangan itu untuk membuang sampah pembungkus permen karetnya , suara gemuruh itu terdengar dengan jelas. Kumala ber sikap curiga, menyuruh Sandhi menahan pintu agar tetap terbuka. "Tunggu, jangan tutup dulu; pintunya!" "Ada apa?!" tanya Tante Molly deg-degan. "Suara gemuruh itu bukan suara guntur," jawabnya dengan suara pelan, telinganya dipakai mendengarkan baik-baik. "Ah, itu suara guntur karena hujan mau dalang," bisik Tante Molly. Tapi gadis paranormal itu menggelengkan kepala. "Dengar, gemuruhnya sejak tadi belum berhenti juga. Sekarang malah semakin jelas, kan?" Sandhi menyahut dari pintu sana, "Iya... sepertinya justru mendekati kita di s ini!" "Astaga...?! Lantainya bergetar?!" gumam Tante Molly. Mereka juga merasakan getaran lantai dan wajah-wajah mereka saling pandang dalam ketegangan. Tante Molly bergegas keluar, melihat beberapa karyawan hotel berjalan simpang-siur dalam ketegangan. "Ada apa ini?!" seru Tante Molly kepada salah seorang karyawan hotel yang kebetulan melintas di depan ruang senam itu. "Entah, Nyonya. Sepertinya mau terjadi gempa bumi yang cukup hebat. Di luar sana... di depan, ada cahaya merah yang meluncur kemari, Nyonya. Seperti pesawat, tapi bentuknya menyerupai meteor. Entah apa. Yang jelas suara gemuruh itu datangnya dari benda terbang di angkasa sana." Sandhi dan Kumala juga mendengar penjelasan itu. Begitu pula Buron. Maka, suasana tegang pun semakin terasa. menggetarkan dada mereka. Kumala Dewi berkata kepada Buron dengan agak berbisik. "Jangan keluar ke mana-mana. Aku akan menyambut kedatangannya di halaman depan sana!" Buron mengangguk patuh. "Hati-hati...!" bisiknya lirih. Maka Kumala pun segera keluar. Sandhi mengikutinya. Tante Molly diminta menemani Buron di ruangan tersebut. Praaang...! Tiba-tiba dinding kaca itu pecah. Kumala dan Sandhi kembali ke ruangan tersebut karena langkah mereka belum jauh. Kumala terperanjat melihat benda merah membara seperti besi terpanggang. Benda itu melayang di udara, menghadap Buron yang terperanjat kaget. Tante Molly pun mendelik ketakutan melihat benda membara itu. Tapi ia mengetahui bentuk benda tersebut seperti bentuk organ tubuh seorang lelaki yang paling vital, la tak tahu bahwa benda terbang yang tadi bergemuruh itu adalah 'burung'-nya Buron yang bergerak karena kekuatan gaibnya Madam Ladebra, menuntun Madam menemukan si pemilik 'burung' itu berada. "Gawat...!" gumam Sandhi yang segera bergerak mundur ke arah pintu, sedangkan Tante Molly ikut bergerak ke arah pintu. Rasa takut kedua orang tersebut semakin besar karena mereka melihat munculnya seorang wanita berambut panjang dari lubang tempat menembusnya benda terbang itu Wanita itu menggunakan kekuatan gaibnya kelas tinggi, sehingga bisa menerobos masuk melalui lubang sebesar botol kecap. Tahutahu ia sudah berdiri di sana, menyeringai memandang Buron Dan ludah Buron ditelannya sendiri, menahan ketegangannya sejak ia tahu bahwa perempuan berambut panjang dan berpakaian serba hitam itu tak lain adalah Madam Ladebra. "Akhirnya kutemukan juga kau, Jin keparat!" geram Madam Ladebra sambil tangannya mulai masuk ke tas kecil. Kumala melihat gerakan itu sebagai langkah mengambil intan biru. Maka serta merta Kumala memancing perhatian Madam Ladebra dengan suaranya yang lantang. "Akulah yang kau cari, Madam! Aku yang bernama Kumala Dewi!" "Hmmm, bagus!" Madam Ladebra mencibir. "Kau pikir dengan berada di ruang berdinding cermin Ini aku takut menggunakan pusaka ini?! Aku sudah niat mati dan hancur bersama jin keparat itu, tahu?!" Madam Ladebra menarik tangannya dari dalam tas. Dengan cepat Kumala Dewi mengibaskan tangan seperti menari gemulai. Wuusss...! Gelombang tenaga badai menghempas, membuat tubuh Madam Ladebra terpental kuat-kuat, menembus dinding cermin. Praaang.-.,! Brrol...! Tubuh itu berhasil menjebol bangunan, lalu terlempar jatuh ke pelataran hotel. Dewi Ular segera mengejarnya dengan kekuatan supranaturalnya yang dapat dipakai menembus tembok tanpa merusakkan tembok itu sedikit pun. Bleesss...! Tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan Madam Ladebra yang telah menggenggam intan biru. "Sudah waktunya menghancurkan jasad busukmu, Gadis dung..." ucapan menggeram itu tidak ditunggu sampai .habis. Kumala Dewi berkelebat bagaikan badai bertiup, la sengaja menerjang Madam Ladebra sebelum batu intan biru itu memancarkan cahaya mautnya. Bruusss...! "Aauh...!" Dewi Ular memekik Ternyata posisi Madam Ladebra telah dibuat sekokoh beton. Tak sedikit pun terguncang oleh. terjangan Kumala Dewi. Justru sebaliknya, Kumala sendiri yang terpental dengan dagu berdarah, seperu habis membentur dinding. Kumala jatuh terkapar, sangat menyedihkan dilihat Sandhi yang segera mengambil batu, lalu melemparkan ke arah Madam Ladebra. Wuuut, praak...! Batu itu hancur sendiri. Tubuh perempuan bermata jalang itu tak bergeming. Matanya ditujukan kepada Sandhi yang menjadi ketakutan dan berusaha menghindar jika sampai benda seperti kuncup mawar itu memancarkan sinar birunya. Namun setidaknya usaha Sandhi menunda kemurkaan perempuan itu telah berhasil, sehingga Kumala Dewi punya kesempatan berdiri lagi dan melepaskan cahaya hijaunya dari tangan kanan yang bergerak memutar bagaikan mata bor Claaap...! "Hahhh...!" sentak suara Madam Ladebra dengan gerakan gesit menghadang sinar hijau itu menggunakan batu intan biru. Batu tersebut tampak mengembang dan memancarkan cahaya ungu, namun cahaya itu tidak membias ke manamana. Sinar hijaunya Kumala bagaikan terperangkap masuk ke dalam batu tersebut, lalu kelopak batu bergerak mengatup, tertutup seperti sediakala. Tak terjadi ledakan besar pada saat itu, pertanda dengan mudahnya pusaka intan biru melumpuhkan kesaktian Dewi Ular. Tiba-tiba dari arah kanan Kumala terdengar deru sebuah mobil tanpa wujud. Namun semua orang melihat jelas sosok wanita cantik berjubah putih transparan seperti sedang duduk bersama seorang pemuda berwajah imut-imut. Mereka melayang cepat, dan berhenti dalam jarak 5 meter dari tempat Kumala berdiri. Wanita cantik itu ternyata adalah Dewi Angora bersama Alvan yang menurut perasaan pemuda itu sedang mengemudikan sebuah mobil Padahal tidak ada mobil yang sebenarnya, selain hanya bayangan semu dalam penglihatannya. "Kumala, terima ini...!" Tangan Dewi Ular menangkap sesuatu yang dilemparkan Dewi Angora. Taaap...! Ternyata sepasang potongan pusar bayi kembar yang masih basah. Darahnya mengalir kecil di pergelangan tangan Kumala. Pada waktu itu Madam Ladebra sedang menahan napas untuk melepaskan kekuatan maha sakti dari dalam batu intan biru tersebut Claap. .! Cahaya biru keluar dari kelopak batu yang membuka. Tapi tangan Kumala yang masih menggenggam benda penangkal dalam keadaan diacungkan tegak ke atas itu dapat mengeluarkan sinar kuning emas berbentuk seperti gelombang memutar-mutar di udara. Sinar kuning emas itu masuk dalam bias cahaya biru, lalu kedua cahaya itu menyatu dalam bentuk gumpalan sebesar bola. Zoouumm...! Makin lama semakin kecil dan akhirnya padam. "Hahh...???” Madam Ladebra terkejut, matanya membelalak. Lalu ia mencoba lagi mengeluarkan sinar biru dari batu pusaka tersebut, namun tidak pernah berhasil. Melihat kegagalan Madam Ladebra itu. Dewi Angora segera berkelebat dalam satu lompatan dan berubah menjadi seekor kucing putih. "Weeeooongggrrr...!!" tangan Madam Ladebra disambarnya. Batu intan biru jatuh dari genggaman yang pergelangannya berdarah akibat cabikan kuku kucing putih itu. Sebelum batu tersebut menyentuh tanah, mulut kucing menyambarnya. Huup...! Batu itu segera dibawa lari ke tempat yang aman. Di sana kucing itu berubah menjadi Dewi Angora lagi yang telah menggigit batu intan birru. "Bangsaaat...!!" teriak si dukun jalang, la segera menyerang Dewi Angora dengan hembusan kabut hitam yang keluar dari mulutnya. Tapi Dewi Ular mengeluarkan badai lagi lewat ayunan tangannya yang mirip orang menari itu. Wuuusss ..! Kabut beracun itu lenyap dihembus badai. Tubuh Madani Ladebra sendiri terguncang nyaris tumbang. Pada saat itu Dewi Angora yang telah menggenggam batu intan biru segera meraung panjang dengan kaki menghentak ke bumi. "Grraaauuung...!!" Kejap kemudian terdengar suara kucing mengeong dari berbagai arah. Suara itu makin banyak, dan dalam waktu cukup singkat Madam Ladebra diserang puluhan ekor kucing dari berbagai jenis dan warna. Dukun jalang itu kebingungan menghindari serangan kucing-kucing yang makin lama jumlahnya makin banyak, lebih dari seratus ekor yang bermunculan entah dari alam mana. "Aaauhh...! Aaaauuh, tolooong...! , Aaaauuhh...!" Madam Ladebra jatuh ke tanah. Tak terlihat lagi sosoknya karena tertutup puluhan kucing yang mencecarnya tanpa ampun lagi Kumala berseru mengingatkan Dewi Angora agar berhenti menyerang lawannya. Tapi Angora yang menyeringai dengan gigi mengeluarkan taring kecil itu tak mendengar seruan tersebut, sehingga Kumala terpaksa menghampirinya. "Hentikan! Jangan sampai dia mati!" "Grraaauuung...!!" Dewi Angora mengerang lagi sambil menghentakkan kaki ke tanah satu kali. Kucing kucing itu berlompatan menembus tempat gelap, dan hilang tanpa suara lagi selamanya. Tapi apa yang ditinggalkan kucing-kucing itu sangat mengerikan. Mereka yang menyaksikan pertarungan tersebut dari tempat jauh saling bergidik ngeri, sebab di sana tergeletak sosok tubuh yang nyaris tak berbentuk lagi. Tercabik-cabik, berhamburan sisa ususnya, sebagian paha dan iga sudah tampak tulangnya. Dukun jalang itu habis riwayatnya. Kematiannya sangat tragis. Kumala agak menyesali kematian itu, karena ia tak ingin membunuh lawan seperti Madam Ladebra. la ingin menyadarkan perempuan macam itu, namun agaknya Dewi Angora telah bertindak cepat dan sangat fatal akibatnya jika ia mengerahkan pasukan kucing s iluman. "Maaf, aku tak mendengar seruanmu yang pertama tadi, Kumala," kata Dewi Angora dengan nada kesal. Gigi taringnya sudah hilang, yang tersisa hanyalah kecantikannya. "Ya, sudahlah. Segalanya sudah terjadi, apa boleh buat." Buron muncul dari lobby, berseru-seru memanggil Kumala dengan nada girang. T api sempat membuat Kumala dan yang lainnya yang mengetahui persoalan tersebut jadi tersipu malu sendiri. "Kumala... Kumala! Hoii... 'burungku' telah pulang kandang...! Burungku telah kembali, Kumala. Lihatlah kalau kau...." "Buron!" hardik Kumala menyadarkan kegembiraan Buron yang hampir lepas kontrol itu. Kumala sendiri menahan tawa malu dalam hardikannya lagi. Buron pun akhirnya cengarcengir sendiri setelah menyadari bahwa di situ banyak mata yang memperhatikannya dan tampaknya sebagian orang mengetahui maksud ucapannya tadi. "Dari mana kau dapatkan pusar bayi kembar ini?" seraya Kumala menyerahkan kembali benda yang digenggamnya itu kepada Angora. "Kucari melalui jalur gaib, sehingga aku mengetahui ada sepasang bayi kembar yang baru saja la hir dengan tali pusar bertautan. Dokter memotong sedikit tali pusar itu pada masing-masing bayi tersebut, lalu rohku menyambar potongan itu, sehingga si dokter sempat terbengong heran, menganggap potongan tali pusar itu hilang secara gaib Hmm, oh ya., aku harus, mengembalikan kepada orang tua bayi itu, sebab potongan tali pusar itu sangat berguna bagi kehidupan kedua bayi kembar itu!" Dewi Angora segera pergi bersama Alvan mengendarai mobil gaibnya tentu saja setelah ia mengurapkan terima kasih kepada Kumala dan para pengikutnya yang telah membantu mendapatkan batu intan biru tersebut. Jenazah Madam Ladebra sendiri tahu-tahu lenyap bagaikan ditelan bumi ketika Angora dan Alvan pergi meninggalkan mereka. Agaknya Angora sengaja melenyapkan jenazah itu supaya tidak menjadi masalah bagi Kumala dan orang-orang yang hidup di muka bumi. "Sebelum aku kembali ke Kahyangan aku akan singgah dulu ke rumahmu, Kumala!" seru Dewi Angora saat ingin menjauh. Kumala Dewi hanya melambaikan tangan, lalu Dewi Angora dan Alvan lenyap. "Mau singgah mau nggak kek, yang penting 'perkututku' sudah kembali!" ucap Buron dengan - nada menggumam pelan, membuat Kumala dan Sandhi tertawa geli. SELESAI zheraf.mywapblog.com